Jakarta (SEOTAMA) - Aviliani, ekonom lembaga Indef mengingatkan pemerintah untuk menggali secara optimal penerimaan pajak dari sektor informal seperti profesi "YouTuber" karena pendapatan dari informal banyak yang sudah melebihi formal dan belum terdeteksi.
Dalam diskusi "100 perempuan ekonomi Indonesia" di Jakarta, Selasa (26/03), Aviliani mengatakan saat ini struktur perbedaan pendapatan antara pekerja informal dan formal seringkali menjadi kurang relevan.
Dengan hadirnya industri ekonomi berbasis digital, banyak pula profesi informal baru yang pendapatannya mampu melebihi profesi di sektor formal.
"Informal itu belum tentu tidak bagus. Informal itu kalau sekarang, penghasilannya besar, contoh YouTuber Atta Halilintar. Artinya jangan lihat dari informal. Kalau memang pedapatannya termasuk yang kena pajak, itu tetap harus bayar," kata Aviliani.
YouTuber adalah sebutan bagi aktris atau pembuat konten di media sosial "YouTube" yang memiliki banyak pengikut (followers), mahir membuat konten menarik dan berhasil meraup keuntungan dari iklan yang dimuat di channel YouTube yang bersangkutan, iklan PPC (Pay Per Click) dari Google pemilik YouTube hingga pemasang jasa video yang ingin dipromosikan sang YouTuber untuk jalankan internet marketing membidik pengguna YouTube. Bisnis baru di era digital.
Menurut Charlie M. Sianipar, konsultan digital marketing di Jakarta, selain YouTube, masih ada platform berbeda yang menjadi sumber penghasilan bagi penggiatnya, diantaranya Selebgram di Instagram dan Buzzer di Twitter yang memiliki ratusan ribu hingga jutaan followers. Setiap posting yang diberikan pemasang konten, pemilik akun akan mendapat bayaran yang disepakati, mereka juga dikenal sebagai influencer atau pelaku endorsement.
Dikatakan oleh Charlie, ragam iklan online seiring perkembangan zaman dan internet berkembang terus, cara pelaku usaha untuk mempromosikan bisnisnya, menjangkau calon pelanggan, terutama kaum millenial yang setiap saat tak dapat lepas lagi dari gawai atau gadget yang digunakan.
Menurut Aviliani, dengan pesatnya industri ekonomi digital ini, potensi bertambahnya penerimaan pajak sangat besar, asalkan pemerintah bisa meningkatkan kepatuhan membayar pajak.
Kemudian, kata Avilani, pemerintah juga sebaiknya memiliki patokan untuk rasio pembayaran pajak bagi perusahaan atau PPh badan.
"Pajak dari PPh (Pajak Penghasilan) dan pajak badan kontribusinya masih terlalu kecil bagi APBN," katanya.
Menurut data Kementerian Keuangan, realisasi penerimaan pajak termasuk PPh migas periode Januari-Februari 2019 mencapai Rp160,8 triliun atau meningkat 4,7 persen secara tahunan (year on year/yoy) dari periode yang sama tahun sebelumnya.
Penerimaan itu baru mencapai 10,2 persen dari yang ditargetkan oleh pemerintah. Merujuk pada Angaran Pendapatan Belanja Negara 2019, sepanjang tahun pemerintah menargetkan penerimaan pajak sebesar Rp1.577,6 triliun dari total pendapatan negara sebanyak Rp2.165,1 triliun
Tags:
Bisnis