Jakarta, 30/9 (SEOTAMA) - Sebagai salah satu negara dengan sejarah demokrasi tertua di dunia, Amerika Serikat paling sering menjadi rujukan bagi banyak negara lain.
Tanpa kecuali Indonesia yang dari tahun ke tahun fenomena politiknya semakin mirip dengan pelaksanaan demokrasi di AS. Pun serupa dalam model berkampanye, begitu giatnya Barack Obama membangun branding politik melalui media sosial menjadi inspirasi tersendiri bagi dunia politik di Tanah Air.
Bukan hanya itu, modernisasi kampanye pemilu di Indonesia pun layaknya mendapatkan embusan angin segar ketika era survei, jajak pendapat, dan exit pool gencar diterapkan di AS dan mencatatkan sukses.
Pengamat politik Arif Amarudin misalnya, mencontohkan pada Pemilu 2004 mulai muncul istilah quick count, metode hitung cepat hasil pemilihan umum, sehingga hal itu dapay segera diketahui oleh partai dan atau pasangan calon yang memenangkan pemilu. Awalnya banyak pihak yang ragu dengan metode ini, namun setelah diperbandingkan dengan penghitungan resmi yang dikeluarkan penyelenggara pemilu, seperti Komisi Pemilihan Umum, ternyata menunjukkan hasil yang hampir sama, yakni selisih suara antara penghitungan resmi dengan quick count hanya di bawah 2 persen.
Indonesia pun makin percaya diri dengan menerapkan konsep-konsep tersebut, hingga kemudian pada lima tahun setelahnya diperkenalkan model baru dalam pelaksanaan pemilihan umum yang juga telah lebih dahulu diterapkan di AS, yaitu digelarnya debat antarcalon presiden dan wakil presiden secara resmi oleh KPU. Memang menurut Arif yang juga alumnus UIN Syarif Hidayatullah itu, pelaksanaan debat antarpasangan calon bukan yang pertama karena juga pernah digelar sebelumnya.
Perbedaannya, jika pelaksanaan sebelumnya digelar `informal', biasanya diadakan oleh stasiun televisi, sekarang dilaksanakan secara resmi oleh KPU dan disiarkan secara langsung oleh media ke seluruh Indonesia.
Dari debat ini masyarakat mengetahui program yang diusung masing-masing pasangan calon serta perbedaan antara satu dengan yang lain.
Hal itu berlanjut pada Pemilu 2014 yang makin mempergunakan basis sistem teknologi informasi baik dalam hal informasi logistik maupun sistem informasi partai politik.
Namun modal konsep kampanye gaya Amerika Serikat tersebut bisa saja menjadi tanpa arti jika tidak dilaksanakan secara damai di Tanah Air.
Kampanye kreatif Faktanya, pekerjaan rumah terbesar bagi bangsa Indonesia adalah menghadirkan suasana damai dalam menyongsong Pemilu Legislatif atau Pileg dan Pemilihan Presiden/Pilpres 2019.
Berbagai model kampanye memang muncul sebagai modal-model kreatif menuju kontestasi presidensial dan legislasi 2019 yang mengedepankan unsur kreativitas dan seni.
Arif Amarudin mengamati sejak Pemilu 2014, bentuk kampanye kreatif mulai bermunculan seperti melalui video, musik, aplikasi game, dan desain visual yang didukung oleh kemajuan teknologi informasi (media sosial).
Bahkan kondisi itu telah mampu mengantarkan Indonesia bertransformasi dari model kampanye konvensional menuju kampanye modern. Menurut dia, kemunculan kampanye kreatif dapat menjadi saluran politik yang efektif guna membangun budaya partisipatoris.
Selain itu kampanye kreatif sangat positif dalam mendorong perubahan perilaku politik kewargaan yang kemudian melahirkan politik kegembiraan selayaknya disebut era pesta demokrasi meski dengan prasyarat dilakukan secara damai.
Pendiri dan Pembina Gerakan Damai Indonesia, Jappy M Pellokila mendukung kampanye dalam berbagai bentuk dilakukan dengan mengedepankan upaya damai.
Sebab, menurut dia, aset terbesar bangsa Indonesia adalah persatuan dan kesatuan meskipun berbeda-beda dalam berbagai sisi kehidupan.
Ia berpendapat apapun bentuknya baik tulisan, gambar atau visual, dan audio melalui media untuk mendapat perhatian, dukungan, dan pilihan, senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai perdamaian.
Deklarasi Damai Deklarasi kampanye damai kemudian menjadi tidak terelakkan manakala kampanye justru rentan menjadi alat bagi pihak-pihak tertentu untuk memperkeruh suasana menjelang pemilu.
Menurut Jappy, bagaimanapun dan apapun alasannya kampanye politik potensial menjadi salah satu (alat) pemicu dan pembangkit konflik sosial.
Oleh sebab itu, kampanye harus ditata kelola sedemikian rupa, sehingga tidak memunculkan kekacauan, konflik, atau pun keributan-keributan kecil yang bisa memunculkan kerusuhan besar. Itu sebabnya, beberapa waktu yang lalu, dua pasangan capres/cawapres yang akan maju dalam Pilpres RI 2019, melakukan Ikrar Kampanye Damai.
Tentu saja, ikrar tersebut tidak muncul dari hamparan kosong, melainkan dari proses dan pertimbangan agar nantinya terjadi kampanye menarik, bermartabat, serta bersifat edukasi politik.
Berdasar itu, kata dia, maka pada Ikrar Kampanye Damai, bukan sekadar untuk meniadakan konflik fisik, namun juga isi atau muatan pada waktu kampanye harus bebas dari hoaks, isu-isu sentimen SARA, dan politik uang.
Hal-hal yang terakhir inilah, bisa disebut, paling mewarnai setiap kampanye politik di Indonesia.
Oleh sebab itu, mencapai kampanye dan pemilu damai bukan melulu tugas satu pihak melainkan tanggung jawab bersama seluruh lapisan masyarakat.
Apapun model yang dianut, aset terbesar bangsa ini: persatuan dan kesatuan merupakan hal yang mutlak untuk dipertahankan. (Hanni Sofia)
Tags:
Sosial