Baru dilantik sebagai Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) oleh Presiden RI Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, 8 Desember 2017, Marsekal TNI Hadi Tjahjanto langsung mengambil keputusan yang mengundang 1.001 pertanyaan.
Melalui Surat Keputusan Panglima TNI Kep/982.a/XII/2017 tertanggal 19 Desember 2017, Hadi Tjahjanto membatalkan alias menganulir keputusan Panglima TNI sebelumnya Jenderal TNI Gatot Nurmantyo tentang mutasi 85 perwira tinggi TNI.
Berdasarkan surat keputusan Gatot tertanggal 4 Desember 2017, puluhan atau tepatnya 85 jenderal dari TNI AD, TNI AL, dan juga TNI AU dipindah dari jabatan strategis mereka.
Letnan Jenderal TNI Eddy Rachmayadi, misalnya, diberhentikan sebagai Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), kemudian dialihkan ke posisi perwira tinggi di Markas Besar TNI AD karena akan memasuki masa pensiun. Eddy pada awal Januari 2018 direncanakan akan mendaftarkan diri ke Komisi Pemiihan Umum (KPU) Provinsi Sumatera Utara untuk menjadi bakal calon Gubernur Sumatera Utara.
Posisi Eddy sebagai Panglima Kostrad bakal digantikan Mayor Jenderal TNI Sudirman yang sebelumnya menjadi Asisten Operasi KSAD. Namun, ternyata Marsekal Hadi membatalkan penetapan jabatan baru Letjen Eddy, Mayjen Sudirman, dan 14 perwira tinggi lainnya sehingga kembali ke jabatan semula. Dengan demikian, 16 jenderal tetap pada jabatan semula mereka.
Marsekal Hadi yang baru menjadi Kepala Staf TNI AU pada bulan Januari 2017, kemudian menjadi Panglima TNI. Untuk sementara, Hadi memegang dua jabatan strategis.
Hadi mengatakan bahwa keputusannya itu sama sekali tidak mengandung unsur suka atau tidak suka, yang dia sebut dalam bahasa Inggris "like and dislike".
Tentu seorang pejabat apa pun posisinya mempunyai hak prerogatif untuk mengangkat atau memberhentikan anak buahnya pada tingkat apa pun. Kalau di TNI, jenderal berbintang satu(brigjen) bisa naik jabatan yang biasa disandang seorang mayor jenderal (mayjen) atau seorang mayjen menduduki jabatan baru yang harus disandang tentara berpangkat letjen.
Jadi, pada dasarnya surat keputusan pembatalan mutasi 16 perwira tinggi itu oleh Hadi adalah sah-sah saja. Namun, kasus ini menarik perhatian para pengamat politik karena belum dua minggu memegang jabatan barunya, Hadi sudah mampu membuat kejutan. Kendati demikian, masyarakat boleh saja 'kan bertanya- tanya kenapa Panglima TNI "nekat" alias berani betul mengambil keputusan pembatalan atau menganulir mutasi 16 anak buahnya itu.
Pengamat militer Salim Said berpendapat bahwa tentu saja Hadi berani mengambil keputusan "kontroversial" tetapi "biasa-biasa" saja karena ada dukungan atau pengarahan atasan langsungnya yang tidak lain adalah Presiden RI Joko Widodo yang tidak lain adalah Panglima Tertinggi TNI.
Karena menjadi Panglima Tertinggi TNI, bisa diperkirakan atau ditebak bahwa Jokowi sudah memberi isyarat atau perintah, baik secara langsung maupun tidak langsung kepada Hadi untuk melakukan perombakan di "kabinet TNI" yang dikomandoinya.
Tentu saja kemudian Panglima TNI langsung bergerak cepat dan dia pasti telah mendapat masukan dari berbagai pihak. Di Kabinet Kerja saja, sedikitnya ada dua jenderal purnawirawan, yakni Jenderal TNI Purnawirawan Wiranto yang memegang posisi Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan dan juga Letnan Jenderal Purnawirawan Luhut Binsar Pandjaitan yang pernah bertugas di Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD dan kini menjadi Menteri Koordinator Kemaritiman. Kedua jenderal purnawirawan ini bisa saja memberi masukan kepada Hadi.
Pembatalan surat keputusan Gatot Nurmantyo ini juga bisa dilihat dari situasi sebelumnya bahwa Panglima Tertinggi TNI disebut-sebut atau dikabarkan merasa "kurang sreg" terhadap Gatot walaupun hal itu bisa dikatakan akan mustahil akan diumumkan sikap sebenarnya Presiden terhadap yang bersangkutan.
Selain itu, faktor-faktor apa saja yang bisa memungkinkan Panglima TNI Marsekal Hadi untuk berani mengambil keputusan secepat itu? Bisa ditebak dengan keputusan ini bahwa Hadi ingin memperlihatkan kepada ratusan ribu prajurit TNI bahwa dirinya benar-benar sudah mengendalikan atau menguasai garis komando, terutama di tingkat atas mulai dari MBAD, MBAU, hingga MBAL. Dengan memperlihatkan kewenangan atau kekuasaannya itu, tentu saja Hadi ingin semua seluruh jajarannya tanpa kecuali untuk tunduk atau mengikuti semua perintahnya. i Sekalipun di dalam Markas Besar TNI dan juga MBAD, MBAL, serta MBAU ada dewan pertimbangan dan jabatan tinggi alias wanjakti yang bisa merekomendasikan mutasi atau tidak dipindahkannya seorang perwira tinggi, tetap saja Panglima TNI berhak penuh mengambil keputusan tentang mutasi para perwira tinggi atau jenderal-jenderal itu.
TNI Angkatan Darat memang memilki prajurit terbanyak jika dibandingkan dengan TNI AL dan TNI AU. Selain itu, hanya Angkatan Darat yang memiliki garis komando hingga ke desa-desa, mulai dari bintara pembina desa (babinsa) yang pangkatnya sersan, komando rayon militer (koramil) di tingkat kecamatan yang umumnya berpangkat letnan, komando distrik militer (kodim) di tingkat kota/kabupaten, komando resor militer (korem) yang membawahi dua atau tiga kota/kabupaten, hingga panglima daerah militer (kodam) yang membawahi satu atau beberapa provinsi.
Dengan memiliki jenjang komando yang lengkap itu, tidak aneh bila selama ini jabatan Panglima TNI sering sekali dipegang oleh jenderal TNI AD. Akan tetapi, karena sekarang ada kesepakatan bahwa jabatan Panglima TNI harus digilir di antara ketiga angkatan, tentu saja kini Angkatan Udara yang mendapat kehormatan. Apalagi, pimpinan Angkatan Darat dan Angkatan Laut akan pensiun pada tahun 2018 dan 2019, sedangkan Hadi Tjahjanto pensiunnya pada tahun 2020.
Kunjungi Anak Buah Marsekal TNI Hadi Tjajanto beberapa hari lalu sudah mulai mendatangi para prajurit Kostrad yang berlokasi di Cilodong, Bogor, Jawa Barat. Dengan mengunjungi anak buahnya di tingkat pasukan, tentu Panglima TNI ingin memperkenalkan diri atau bahasa daerahnya "sowan".
Dengan mengunjungi pasukan Kostrad dan pasti berikutnya akan mendatangi berbagai pasukan lainnya di AD, AL dan AU maka tentu saja Hadi berharap akan mendapat dukungan politis dari anak buahnya pada tingkat paling bawah atas istilah gayanya "grass root".
Beberapa hari lalu, Hadi mengajak Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Polisi Tito Karnavian untuk terbang naik pesawat tempur Sukhoi, kemudian memberikan tanda kehormata atau brevet wing.
Secara perlahan tapi pasti Hadi akan mendatangi banyak pasukan, bertatap muka dengan para tamtama, bintara, perwira pertama, perwira menengah, hingga perwira tinggi untuk menunjukkan atau menjelaskan visi dan misinya sebagai pimpinan TNI. Dengan menemui tamtama, bintara, dan perwira pertama, tentu dia ingin mendapatkan dukungan penuh dari jajaran paling bawah TNI.
Seluruh prajurit TNI tentu perlu memahami bahwa Marsekal Hadi mempunyai hubungan yang erat dengan Presiden RI Joko Widodo karena pernah menjadi sekretris militer kepresidenan atau sekmil setelah Jokowi menjadi Kepala Negara. Bahkan, saat menjadi Komandan Pangkalan Udara (Lanud) Adisumarmo, Hadi mempunyai hubungan dekat dengan Jokowi yang menjadi Wali Kota Surakarta, Jawa Tengah itu.
Kembali ke masalah mutasi dan pembatalan mutasi, Panglima TNI sudah mempunyai rencana dalam waktu jangka pendek, menengah, dan panjang untuk merotasi atau mutasi, terutama pada tingkatan jenderal, laksamana, dan marsekal sehingga semua pimpinan AD, AL, dan AU akan benar-benar mengikuti garis komando dan perintah dari Markas Besar TNI Cilangkap, Jakarta Timur.
Dengan menguasai garis komando dari tingkat tertinggi hingga terbawah atau terendah, tentu Hadi Tjahjanto akan leluasa untuk melaksanakan seluruh misi dan visinya.
Di lain pihak, para jenderal yang tetap mendapat jabatan barunya atau sebaliknya terpaksa "dianulir" alias dibatalkan posisinya perlu memahami bahwa garis komando TNI sudah berganti kepada "orang baru" tetapi "sudah lama" sehingga apa putusannya harus ditaati berdasarkan Sapta Marga. Bagi prajurit TNI, hanya mengenal garis komando dan harus taat sepenuhnya kepada atasan tanpa kecuali. Kalau tidak, pilihannya cuma satu, yakni keluar dari jajaran TNI.
Sekalipun Panglima TNI sudah mulai mengambil keputusan strategis, terutama yang berkaitan dengan mutasi, masih ada setumpuk tugas berat yang mesti dipikulnya mulai dari menarik atau merekrut calon prajurit baru, yakni mulai dari prajurit dua lewat sekolah calon tamtama (secatam), sekolah calon bintara (secaba) untuk sersan, akademi untuk calon letnan dua, hingga sekolah khusus untuk para sersan yang ingin naik pangkat menjadi letnan dua tanpa melalui Akademi Militer, Akademi Angkatan Udara, dan Akademi Angkatan Laut.
Tidak kalah peliknya adalah bagaimana pengadaan alat utama sistem senjata karena keinginan yang menggebu-gebu untuk memiliki senjata canggih tetapi bermasalah dengan kondisi keuangan di tengah masih terbatasnya APBN, mereka bisa menikmati gaji yang lebih tinggi, uang lauk-pauk alias uang makan, serta berbagai fasilitas sosial lainnya mulai dari perumahan atau asrama dan berbagai tektek bengek lainnya.
Jajaran Tentara Nasional Indonesia hanya bisa berharap agar Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto bisa bekerja dan mengabdi sebaik mungkin tanpa adanya gangguan "dari dalam" sendiri, apalagi pada tahun 2018 dan 2019 bakal menjadi tahun-tahun panas atau hangat karena adanya pilkada di 171 daerah (provinsi, kota, dan kabupaten) serta pada tahun 2019 ada pemilihan umum anggota legislatif serta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden RI yang diramalkan akan panas atau hangat. (An/Arnaz Firman)
Melalui Surat Keputusan Panglima TNI Kep/982.a/XII/2017 tertanggal 19 Desember 2017, Hadi Tjahjanto membatalkan alias menganulir keputusan Panglima TNI sebelumnya Jenderal TNI Gatot Nurmantyo tentang mutasi 85 perwira tinggi TNI.
Berdasarkan surat keputusan Gatot tertanggal 4 Desember 2017, puluhan atau tepatnya 85 jenderal dari TNI AD, TNI AL, dan juga TNI AU dipindah dari jabatan strategis mereka.
Letnan Jenderal TNI Eddy Rachmayadi, misalnya, diberhentikan sebagai Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), kemudian dialihkan ke posisi perwira tinggi di Markas Besar TNI AD karena akan memasuki masa pensiun. Eddy pada awal Januari 2018 direncanakan akan mendaftarkan diri ke Komisi Pemiihan Umum (KPU) Provinsi Sumatera Utara untuk menjadi bakal calon Gubernur Sumatera Utara.
Posisi Eddy sebagai Panglima Kostrad bakal digantikan Mayor Jenderal TNI Sudirman yang sebelumnya menjadi Asisten Operasi KSAD. Namun, ternyata Marsekal Hadi membatalkan penetapan jabatan baru Letjen Eddy, Mayjen Sudirman, dan 14 perwira tinggi lainnya sehingga kembali ke jabatan semula. Dengan demikian, 16 jenderal tetap pada jabatan semula mereka.
Marsekal Hadi yang baru menjadi Kepala Staf TNI AU pada bulan Januari 2017, kemudian menjadi Panglima TNI. Untuk sementara, Hadi memegang dua jabatan strategis.
Hadi mengatakan bahwa keputusannya itu sama sekali tidak mengandung unsur suka atau tidak suka, yang dia sebut dalam bahasa Inggris "like and dislike".
Tentu seorang pejabat apa pun posisinya mempunyai hak prerogatif untuk mengangkat atau memberhentikan anak buahnya pada tingkat apa pun. Kalau di TNI, jenderal berbintang satu(brigjen) bisa naik jabatan yang biasa disandang seorang mayor jenderal (mayjen) atau seorang mayjen menduduki jabatan baru yang harus disandang tentara berpangkat letjen.
Jadi, pada dasarnya surat keputusan pembatalan mutasi 16 perwira tinggi itu oleh Hadi adalah sah-sah saja. Namun, kasus ini menarik perhatian para pengamat politik karena belum dua minggu memegang jabatan barunya, Hadi sudah mampu membuat kejutan. Kendati demikian, masyarakat boleh saja 'kan bertanya- tanya kenapa Panglima TNI "nekat" alias berani betul mengambil keputusan pembatalan atau menganulir mutasi 16 anak buahnya itu.
Pengamat militer Salim Said berpendapat bahwa tentu saja Hadi berani mengambil keputusan "kontroversial" tetapi "biasa-biasa" saja karena ada dukungan atau pengarahan atasan langsungnya yang tidak lain adalah Presiden RI Joko Widodo yang tidak lain adalah Panglima Tertinggi TNI.
Karena menjadi Panglima Tertinggi TNI, bisa diperkirakan atau ditebak bahwa Jokowi sudah memberi isyarat atau perintah, baik secara langsung maupun tidak langsung kepada Hadi untuk melakukan perombakan di "kabinet TNI" yang dikomandoinya.
Tentu saja kemudian Panglima TNI langsung bergerak cepat dan dia pasti telah mendapat masukan dari berbagai pihak. Di Kabinet Kerja saja, sedikitnya ada dua jenderal purnawirawan, yakni Jenderal TNI Purnawirawan Wiranto yang memegang posisi Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan dan juga Letnan Jenderal Purnawirawan Luhut Binsar Pandjaitan yang pernah bertugas di Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD dan kini menjadi Menteri Koordinator Kemaritiman. Kedua jenderal purnawirawan ini bisa saja memberi masukan kepada Hadi.
Pembatalan surat keputusan Gatot Nurmantyo ini juga bisa dilihat dari situasi sebelumnya bahwa Panglima Tertinggi TNI disebut-sebut atau dikabarkan merasa "kurang sreg" terhadap Gatot walaupun hal itu bisa dikatakan akan mustahil akan diumumkan sikap sebenarnya Presiden terhadap yang bersangkutan.
Selain itu, faktor-faktor apa saja yang bisa memungkinkan Panglima TNI Marsekal Hadi untuk berani mengambil keputusan secepat itu? Bisa ditebak dengan keputusan ini bahwa Hadi ingin memperlihatkan kepada ratusan ribu prajurit TNI bahwa dirinya benar-benar sudah mengendalikan atau menguasai garis komando, terutama di tingkat atas mulai dari MBAD, MBAU, hingga MBAL. Dengan memperlihatkan kewenangan atau kekuasaannya itu, tentu saja Hadi ingin semua seluruh jajarannya tanpa kecuali untuk tunduk atau mengikuti semua perintahnya. i Sekalipun di dalam Markas Besar TNI dan juga MBAD, MBAL, serta MBAU ada dewan pertimbangan dan jabatan tinggi alias wanjakti yang bisa merekomendasikan mutasi atau tidak dipindahkannya seorang perwira tinggi, tetap saja Panglima TNI berhak penuh mengambil keputusan tentang mutasi para perwira tinggi atau jenderal-jenderal itu.
TNI Angkatan Darat memang memilki prajurit terbanyak jika dibandingkan dengan TNI AL dan TNI AU. Selain itu, hanya Angkatan Darat yang memiliki garis komando hingga ke desa-desa, mulai dari bintara pembina desa (babinsa) yang pangkatnya sersan, komando rayon militer (koramil) di tingkat kecamatan yang umumnya berpangkat letnan, komando distrik militer (kodim) di tingkat kota/kabupaten, komando resor militer (korem) yang membawahi dua atau tiga kota/kabupaten, hingga panglima daerah militer (kodam) yang membawahi satu atau beberapa provinsi.
Dengan memiliki jenjang komando yang lengkap itu, tidak aneh bila selama ini jabatan Panglima TNI sering sekali dipegang oleh jenderal TNI AD. Akan tetapi, karena sekarang ada kesepakatan bahwa jabatan Panglima TNI harus digilir di antara ketiga angkatan, tentu saja kini Angkatan Udara yang mendapat kehormatan. Apalagi, pimpinan Angkatan Darat dan Angkatan Laut akan pensiun pada tahun 2018 dan 2019, sedangkan Hadi Tjahjanto pensiunnya pada tahun 2020.
Kunjungi Anak Buah Marsekal TNI Hadi Tjajanto beberapa hari lalu sudah mulai mendatangi para prajurit Kostrad yang berlokasi di Cilodong, Bogor, Jawa Barat. Dengan mengunjungi anak buahnya di tingkat pasukan, tentu Panglima TNI ingin memperkenalkan diri atau bahasa daerahnya "sowan".
Dengan mengunjungi pasukan Kostrad dan pasti berikutnya akan mendatangi berbagai pasukan lainnya di AD, AL dan AU maka tentu saja Hadi berharap akan mendapat dukungan politis dari anak buahnya pada tingkat paling bawah atas istilah gayanya "grass root".
Beberapa hari lalu, Hadi mengajak Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Polisi Tito Karnavian untuk terbang naik pesawat tempur Sukhoi, kemudian memberikan tanda kehormata atau brevet wing.
Secara perlahan tapi pasti Hadi akan mendatangi banyak pasukan, bertatap muka dengan para tamtama, bintara, perwira pertama, perwira menengah, hingga perwira tinggi untuk menunjukkan atau menjelaskan visi dan misinya sebagai pimpinan TNI. Dengan menemui tamtama, bintara, dan perwira pertama, tentu dia ingin mendapatkan dukungan penuh dari jajaran paling bawah TNI.
Seluruh prajurit TNI tentu perlu memahami bahwa Marsekal Hadi mempunyai hubungan yang erat dengan Presiden RI Joko Widodo karena pernah menjadi sekretris militer kepresidenan atau sekmil setelah Jokowi menjadi Kepala Negara. Bahkan, saat menjadi Komandan Pangkalan Udara (Lanud) Adisumarmo, Hadi mempunyai hubungan dekat dengan Jokowi yang menjadi Wali Kota Surakarta, Jawa Tengah itu.
Kembali ke masalah mutasi dan pembatalan mutasi, Panglima TNI sudah mempunyai rencana dalam waktu jangka pendek, menengah, dan panjang untuk merotasi atau mutasi, terutama pada tingkatan jenderal, laksamana, dan marsekal sehingga semua pimpinan AD, AL, dan AU akan benar-benar mengikuti garis komando dan perintah dari Markas Besar TNI Cilangkap, Jakarta Timur.
Dengan menguasai garis komando dari tingkat tertinggi hingga terbawah atau terendah, tentu Hadi Tjahjanto akan leluasa untuk melaksanakan seluruh misi dan visinya.
Di lain pihak, para jenderal yang tetap mendapat jabatan barunya atau sebaliknya terpaksa "dianulir" alias dibatalkan posisinya perlu memahami bahwa garis komando TNI sudah berganti kepada "orang baru" tetapi "sudah lama" sehingga apa putusannya harus ditaati berdasarkan Sapta Marga. Bagi prajurit TNI, hanya mengenal garis komando dan harus taat sepenuhnya kepada atasan tanpa kecuali. Kalau tidak, pilihannya cuma satu, yakni keluar dari jajaran TNI.
Sekalipun Panglima TNI sudah mulai mengambil keputusan strategis, terutama yang berkaitan dengan mutasi, masih ada setumpuk tugas berat yang mesti dipikulnya mulai dari menarik atau merekrut calon prajurit baru, yakni mulai dari prajurit dua lewat sekolah calon tamtama (secatam), sekolah calon bintara (secaba) untuk sersan, akademi untuk calon letnan dua, hingga sekolah khusus untuk para sersan yang ingin naik pangkat menjadi letnan dua tanpa melalui Akademi Militer, Akademi Angkatan Udara, dan Akademi Angkatan Laut.
Tidak kalah peliknya adalah bagaimana pengadaan alat utama sistem senjata karena keinginan yang menggebu-gebu untuk memiliki senjata canggih tetapi bermasalah dengan kondisi keuangan di tengah masih terbatasnya APBN, mereka bisa menikmati gaji yang lebih tinggi, uang lauk-pauk alias uang makan, serta berbagai fasilitas sosial lainnya mulai dari perumahan atau asrama dan berbagai tektek bengek lainnya.
Jajaran Tentara Nasional Indonesia hanya bisa berharap agar Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto bisa bekerja dan mengabdi sebaik mungkin tanpa adanya gangguan "dari dalam" sendiri, apalagi pada tahun 2018 dan 2019 bakal menjadi tahun-tahun panas atau hangat karena adanya pilkada di 171 daerah (provinsi, kota, dan kabupaten) serta pada tahun 2019 ada pemilihan umum anggota legislatif serta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden RI yang diramalkan akan panas atau hangat. (An/Arnaz Firman)
Tags:
Berita