Jakarta, 30/11 (Seotama) - Ketika bisnis aplikasi berbasis "online" atau dalam jaringan (daring) berkembang laksana cendawan di musim hujan, raksasa bisnis di bidangnya yang selama ini membangun kerajaan usaha selama bertahun-tahun layaknya tuan pada sebuah rumah yang baru saja disatroni maling.
Baik itu pengusaha transportasi, pengusaha ritel, bahkan pengusaha hotel yang tak pernah menyadari untuk menggarap pasar daring hanya dalam sekejap saja merasakan betapa terganggunya bisnis yang tengah mereka jalani.
Itulah kekuatan sebuah "disruptive" teknologi yang memang sulit untuk diingkari manakala segala sesuatu bisa diselesaikan secara daring dengan ujung jari saja.
Di bidang transportasi Indonesia, misalnya, raksasa Blue Bird harus bertekuk lutut di bawah bisnis anak ingusan Go-Jek yang baru saja merintis usaha dalam hitungan tahun. Bahkan kapitalisasi bisnisnya pun kini telah terlampaui.
Serupa dibidang industri pemesanan tiket, di mana travel agen-travel agen pun semakin surut manakala Traveloka "si anak kemarin" sore lahir dan merampas kue bisnis di bidang tiketing.
Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya pernah beberapa mengingatkan travel agen konvensional untuk "move on" dan menggarap pasar daring.
Bahkan ia juga menyediakan platform khusus bagi travel agen konvensional agar bisa mengelola bisnisnya secara daring dengan hanya cukup mendaftar dan membiasakan diri dengan platform tersebut.
Namun, mengubah kebiasaan yang telah mendarah daging rupanya bukan semudah membalik telapak tangan untuk segera beralih ke aplikasi online.
Arief Yahya pun menyadari hal itu, tetapi ia tetap mengakui bahwa bisnis berbasis daring di era digital tak terelakkan sehingga harus diciptakan regulasi pendukung agar tak ada celah yang membuat iklim usaha menjadi tidak berjalan sebagaimana mestinya peran pemerintah menentukan kebijakan di era digital sangat diperlukan.
Baik itu pengusaha transportasi, pengusaha ritel, bahkan pengusaha hotel yang tak pernah menyadari untuk menggarap pasar daring hanya dalam sekejap saja merasakan betapa terganggunya bisnis yang tengah mereka jalani.
Itulah kekuatan sebuah "disruptive" teknologi yang memang sulit untuk diingkari manakala segala sesuatu bisa diselesaikan secara daring dengan ujung jari saja.
Di bidang transportasi Indonesia, misalnya, raksasa Blue Bird harus bertekuk lutut di bawah bisnis anak ingusan Go-Jek yang baru saja merintis usaha dalam hitungan tahun. Bahkan kapitalisasi bisnisnya pun kini telah terlampaui.
Serupa dibidang industri pemesanan tiket, di mana travel agen-travel agen pun semakin surut manakala Traveloka "si anak kemarin" sore lahir dan merampas kue bisnis di bidang tiketing.
Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya pernah beberapa mengingatkan travel agen konvensional untuk "move on" dan menggarap pasar daring.
Bahkan ia juga menyediakan platform khusus bagi travel agen konvensional agar bisa mengelola bisnisnya secara daring dengan hanya cukup mendaftar dan membiasakan diri dengan platform tersebut.
Namun, mengubah kebiasaan yang telah mendarah daging rupanya bukan semudah membalik telapak tangan untuk segera beralih ke aplikasi online.
Arief Yahya pun menyadari hal itu, tetapi ia tetap mengakui bahwa bisnis berbasis daring di era digital tak terelakkan sehingga harus diciptakan regulasi pendukung agar tak ada celah yang membuat iklim usaha menjadi tidak berjalan sebagaimana mestinya peran pemerintah menentukan kebijakan di era digital sangat diperlukan.
Celah Terbuka
Faktanya kekhawatiran banyak pihak tentang regulasi-regulasi yang masih menyisakan celah untuk dimanfaatkan kerap kali terbukti.
Pasca-ribut taksi daring, misalnya, kini penyewaan akomodasi nonhotel daring menjamur untuk "traveler millennial", mulai dari sewa kamar sampai sewa rumah.
Hal ini dianggap mulai mengganggu bisnis perhotelan karena menyediakan kemudahan yang ditawarkan seperti siapa saja dapat menyewakan rumahnya atau kamarnya kepada wisatawan secara daring.
Maka tak pelak kehadirannya pun menjadi pilihan bagi para kaum milenial untuk mencari akomodasi nonhotel yang beragam dengan harga yang bisa dibilang jauh lebih murah.
Sayangnya pebisnis aplikasi daring, khususnya aplikasi pemesanan penginapan banyak dianggap telah memanfaatkan celah regulasi yang membuat iklim usaha menjadi tidak memiliki "level of playing field" yang setara.
Pengamat Teknologi Informasi di Jakarta, Ruby Alamsyah mengatakan berkembangnya bisnis berbasis aplikasi daring membuat iklim usaha berkembang menjadi tampak tidak lagi setara antara mereka yang konvensional dengan yang berbasis daring.
"Memang mau tidak mau harus beradaptasi, tapi juga 'level of playing field' harus ditetapkan untuk segala jenis usaha semua pihak merasa bisnis yang 'fair'," tuturnya.
Kendala yang berkembang saat ini di dunia IT, kata dia, ketika pebisnis berbasis aplikasi online menyatakan dirinya sebagai provider teknologi yang menyiapkan sistem teknologi.
"Beberapa alasan utama mereka melihat celah dalam sebuah bisnis, mereka bermain di celah regulasi yang ada," ungkapnya.
Jika diperhatikan, kata Ruby, umumnya mereka menggunakan aturan yang cenderung digeneralisasi, misalnya, membantu mempermudah masyarakat menyediakan pelayanan yang lebih terjangkau.
"Lalu saat ada komplain baru mereka menyesuaikan dengan aturan yang ada," ucapnya.
Hal itulah menurut dia, membuat banyak pihak yang merasa regulator tidak menyediakan "level of playing field" yang setara. Padahal, dari berbagai keluhan pebisnis konvensional, misalnya, mereka yang tergabung dalam Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) yang menganggap pebisnis berbasis aplikasi pemesanan penginapan telah melanggar sejumlah regulasi di Indonesia.
Misalnya, soal perpajakan maupun UU Perumahan yang tidak memperkenankan rumah permukiman untuk dikomersialisasikan.
"Hal-hal inilah yang membuat mereka merasa bisnis tidak 'fair' sehingga pebisnis 'online' bisa leluasa, sementara mereka yang masih konvensional terancam dirugikan," ujarnya, menjelaskan.
Pasca-ribut taksi daring, misalnya, kini penyewaan akomodasi nonhotel daring menjamur untuk "traveler millennial", mulai dari sewa kamar sampai sewa rumah.
Hal ini dianggap mulai mengganggu bisnis perhotelan karena menyediakan kemudahan yang ditawarkan seperti siapa saja dapat menyewakan rumahnya atau kamarnya kepada wisatawan secara daring.
Maka tak pelak kehadirannya pun menjadi pilihan bagi para kaum milenial untuk mencari akomodasi nonhotel yang beragam dengan harga yang bisa dibilang jauh lebih murah.
Sayangnya pebisnis aplikasi daring, khususnya aplikasi pemesanan penginapan banyak dianggap telah memanfaatkan celah regulasi yang membuat iklim usaha menjadi tidak memiliki "level of playing field" yang setara.
Pengamat Teknologi Informasi di Jakarta, Ruby Alamsyah mengatakan berkembangnya bisnis berbasis aplikasi daring membuat iklim usaha berkembang menjadi tampak tidak lagi setara antara mereka yang konvensional dengan yang berbasis daring.
"Memang mau tidak mau harus beradaptasi, tapi juga 'level of playing field' harus ditetapkan untuk segala jenis usaha semua pihak merasa bisnis yang 'fair'," tuturnya.
Kendala yang berkembang saat ini di dunia IT, kata dia, ketika pebisnis berbasis aplikasi online menyatakan dirinya sebagai provider teknologi yang menyiapkan sistem teknologi.
"Beberapa alasan utama mereka melihat celah dalam sebuah bisnis, mereka bermain di celah regulasi yang ada," ungkapnya.
Jika diperhatikan, kata Ruby, umumnya mereka menggunakan aturan yang cenderung digeneralisasi, misalnya, membantu mempermudah masyarakat menyediakan pelayanan yang lebih terjangkau.
"Lalu saat ada komplain baru mereka menyesuaikan dengan aturan yang ada," ucapnya.
Hal itulah menurut dia, membuat banyak pihak yang merasa regulator tidak menyediakan "level of playing field" yang setara. Padahal, dari berbagai keluhan pebisnis konvensional, misalnya, mereka yang tergabung dalam Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) yang menganggap pebisnis berbasis aplikasi pemesanan penginapan telah melanggar sejumlah regulasi di Indonesia.
Misalnya, soal perpajakan maupun UU Perumahan yang tidak memperkenankan rumah permukiman untuk dikomersialisasikan.
"Hal-hal inilah yang membuat mereka merasa bisnis tidak 'fair' sehingga pebisnis 'online' bisa leluasa, sementara mereka yang masih konvensional terancam dirugikan," ujarnya, menjelaskan.
Sangat Keberatan
Celah-celah regulasi yang berhasil dimanfaatkan oleh pelaku-pelaku bisnis aplikasi darig faktanya mengancam keberlangsungan bisnis konvensional yang telah berkembang sebelumnya. Serupa dalam bisnis penginapan daring, maka hotel-hotel konvensional kini harus menanggung akibat maraknya konsumen yang pindah haluan memilih nonhotel yang dipasarkan secara daring dengan harga yang lebih terjangkau.
Terkait hal itu, Ketua Perhimpunan Hotel & Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani menegaskan kehadiran situs semacam ini merugikan perhotelan. PHRI sangat keberatan terlebih karena mereka banyak mengambil porsi dan segmen pasar hotel yang sudah lebih dulu ada sejak lama.
Selain itu, menurutnya, keberadaan hotel maupun "homestay" sudah lebih terdata dengan rapi sehingga dapat diketahui rekam jejaknya. Sementara penginapan-penginapan yang dipasarkan secara daring, misalnya, melalui "Airbnb" menurut dia belum terekam dan terdata dengan baik.
Sebagaimana kontroversi kendaraan daring yang berbenturan dengan penyedia jasa konvensional, Hariyadi juga memposisikan situs sejenis itu serupa pada bisnis perhotelan.
Ia menyesalkan begitu banyaknya regulasi yang diterobos oleh pengelola situs penyewaan akomodasi nonhotel daring. Mereka dianggap tidak memiliki dasar yang sama dengan perhotelan serta memiliki banyak kekurangan teknis sebagai sebuah akomodasi. Untuk itu, Hariyadi mengharapkan, "level of playing field"-nya yang sama, membayar bayar pajak yang setara, dan sertifikasi keamanan yang juga dituntutkan kepada pengusaha perhotelan konvensional.
Hariyadi mengungkapkan kekhawatirannya, kalau nantinya situs semacam itu bisa menggilas prospek bisnis hotel ke depan. Terlebih lagi jika investornya merupakan "start-up" yang digerakkan dengan investasi raksasa dari luar negeri dan bukan dari Indonesia.
Hariyadi pun mengatakan, jikapun harus menjalin kerja sama, dirinya lebih memilih bermitra dengan situs serupa dari dalam negeri. Meski ke depan celah-celah regulasi yang masih tersisa itu harus segera ditutup agar tak perlu lagi tercipta iklim bisnis yang tidak adil di Tanah Air saat minim regulasi.
Hanni Sofia Soepardi
Terkait hal itu, Ketua Perhimpunan Hotel & Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani menegaskan kehadiran situs semacam ini merugikan perhotelan. PHRI sangat keberatan terlebih karena mereka banyak mengambil porsi dan segmen pasar hotel yang sudah lebih dulu ada sejak lama.
Selain itu, menurutnya, keberadaan hotel maupun "homestay" sudah lebih terdata dengan rapi sehingga dapat diketahui rekam jejaknya. Sementara penginapan-penginapan yang dipasarkan secara daring, misalnya, melalui "Airbnb" menurut dia belum terekam dan terdata dengan baik.
Sebagaimana kontroversi kendaraan daring yang berbenturan dengan penyedia jasa konvensional, Hariyadi juga memposisikan situs sejenis itu serupa pada bisnis perhotelan.
Ia menyesalkan begitu banyaknya regulasi yang diterobos oleh pengelola situs penyewaan akomodasi nonhotel daring. Mereka dianggap tidak memiliki dasar yang sama dengan perhotelan serta memiliki banyak kekurangan teknis sebagai sebuah akomodasi. Untuk itu, Hariyadi mengharapkan, "level of playing field"-nya yang sama, membayar bayar pajak yang setara, dan sertifikasi keamanan yang juga dituntutkan kepada pengusaha perhotelan konvensional.
Hariyadi mengungkapkan kekhawatirannya, kalau nantinya situs semacam itu bisa menggilas prospek bisnis hotel ke depan. Terlebih lagi jika investornya merupakan "start-up" yang digerakkan dengan investasi raksasa dari luar negeri dan bukan dari Indonesia.
Hariyadi pun mengatakan, jikapun harus menjalin kerja sama, dirinya lebih memilih bermitra dengan situs serupa dari dalam negeri. Meski ke depan celah-celah regulasi yang masih tersisa itu harus segera ditutup agar tak perlu lagi tercipta iklim bisnis yang tidak adil di Tanah Air saat minim regulasi.
Hanni Sofia Soepardi
Tags:
Millenial