Mulai 1 November ini, berlaku Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 108 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Umum tidak dalam Trayek, yang merupakan payung hukum angkutan taksi dalam jaringan (online) berbasis aplikasi internet.
Peraturan itu merupakan pengganti dari Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam Trayek yang sebelumnya telah dianulir oleh Mahkamah Konstitusi.
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 108 itu diterbitkan setelah melalui berbagai dialog publik di beberapa kota di Indonesia, seperti di Bandung, Semarang, Surabaya, Medan dan Makassar untuk mendengar langsung respons masyarakat di berbagi daerah terkait dengan aturan bisnis taksi online ini.
Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan berusaha berdiri di tengah dengan mengakomodasi semua pihak, mengutamakan kepentingan masyarakat luas, kepentingan nasional, dan juga kepentingan pengguna jasa dalam hal keselamatan, perlindungan konsumen, kesetaraan, dan kesempatan berusaha.
Sebagaimana disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Perhubungan Sugihardjo bahwa dalam peraturan baru tersebut terdapat sembilan hal pokok yang menjadi perhatian khusus, yakni soal argometer, wilayah operasi, pengaturan tarif, STNK (surat tanda nomor kendaraan bermotor), kuota, domisili TNKB (tanda nomor kendaraan bermotor), persyaratan izin, SRUT (sertifikat registrasi uji tipe), dan pengaturan peran aplikator.
Mengenai argometer yaitu bahwa besaran biaya angkutan sesuai yang tercantum pada argometer yang ditera ulang atau pada aplikasi berbasis teknologi informasi. Soal wilayah operasi menetapkan wilayah operasi dari taksi online saat mereka beroperasi.
Pengaturan tarif yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengguna jasa dan penyedia jasa transportasi melalui aplikasi teknologi informasi dengan berpedoman pada tarif batas atas dan batas bawah yang ditetapkan oleh Dirjen Perhubungan Darat dan Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ)/Gubernur sesuai dengan kewenangannya.
Mengenai STNK atas nama badan hukum atau dapat atas nama perorangan untuk badan hukum berbentuk Koperasi. Soal kuoto ditetapkan oleh Dirjen Perhubungan Darat/Kepala BPTJ/Gubernur sesuai kewenangannya.
Domisili TNKB menggunakan tanda nomor kendaraan bermotor sesuai dengan wilayah operasi. Persyaratan izin memiliki paling sedikit lima kendaraan yang dibuktikan dengan STNK atas nama badan hukum atau dapat atas nama perorangan untuk badan hukum berbentuk koperasi.
SRUT kendaraan bermotor atau salinan bukti lulus uji berupa buku uji/kartu lulus uji yang masih berlaku. Pengaturan peran aplikator mengatur ketentuan bahwa perusahaan aplikasi dilarang bertindak sebagai perusahaan angkutan umum.
Kesetaraan Ketentuan untuk angkutan taksi daring itu secara filosofi merupakan upaya kesetaraan antara angkutan umum konvensional dengan angkutan berbasis aplikasi internet.
Publik membutuhkan kedua jenis angkutan umum tersebut sehingga perlu pengaturan yang memenuhi asas kesetaraan. Taksi konvensional, misalnya, merupakan suatu kegiatan yang mewadahi masyarakat sudah begitu lama. Apalagi banyak perusahaan taksi konvensional yang "gulung tikar" terdampak oleh keberadaan taksi daring.
Sementara keberadaan taksi daring (online) merupakan sebuah keniscayaan, bahkan hadir lebih awal dibandingkan peraturan. Oleh karena itu pemerintah hadir memberikan payung sekaligus memberikan kesetaraan baik bagi konvensional ataupun daring.
Dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 108 itu diharapkan semua pemangku kepentingan, termasuk angkutan online dan konvensional dapat memahami dan mematuhi peraturan ini, karena proses penyusunannya sudah mengakomodasi semua pihak, dengan mempertimbangkan UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah dan UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan.
Saling memahami dan memahami peraturan itu membutuhkan kesadaran bersama, terutama dari para pemangku kepentingan terkait, agar praktik di lapangan setelah adanya peraturan baru itu dapat berjalan dengan baik.
Hal itu perlu diingatkan karena sebelumnya pihak Organda (Organisasi Angkutan Darat) menyesalkan pelanggaran aturan yang dilakukan oleh perusahaan teknologi aplikasi taksi daring, terutama terkait kuota dan tarif.
Perihal para mitra perusahaan teknologi penyedia aplikasi yang telah berinvestasi butuh perhatian. Mereka memiliki risiko usaha sebagai pengusaha angkutan umum sewa berbasis aplikasi. Persoalan utama yaitu terkait kuota dan tarif yang dinilai tidak mau ditaati oleh perusahaan teknologi penyedia aplikasi padahal pengalaman dan kenyataan yang dialami para sopir taksi daring (mitra online) merasa sebaliknya.
Artinya dengan penambahan armada yang begitu marak dan tarif bersaing murah dengan pelbagai promo yang memanjakan pengguna, ternyata menjadikan mereka bersaing ketat untuk mendapatkan penghasilan sehingga mimpi menjadi pengusaha angkutan, berujung utang mobil yang tidak terbayar. Adalah menjadi wajar ketika usulan kuota dan pengaturan tarif dari para pengemudi daring ini diadopsi oleh pemerintah.
Selama ini juga para pengusaha angkutan umum kecil di daerah-daerah merupakan pihak yang paling terkena dampak dari penerapan tarif murah angkutan-angkutan umum berbasis aplikasi.
Perusahaan-perusahaan teknologi pembuat aplikasi tersebut sebenarnya merupakan perusahaan angkutan umum karena secara hukum produk jasa yang dikeluarkan terkait transportasi. Mereka menjadi perusahaan teknologi yang menyediakan jasa transportasi ketika diberikan pilihan oleh pemerintah untuk menjadi perusahaan angkutan umum atau perusahaan teknologi.
Untuk itu perusahaan teknologi aplikasi memang sudah seharusnya mengikuti aturan jika tidak ingin terganggu dengan aturan yang ada. Mereka bisa tetap menjadi perusahaan teknologi pembuat aplikasi penyedia jasa transportasi.
Organda tidak bisa menampik pernyataan pihak penyedia jasa aplikasi transportasi yang mengklaim pihaknya mewakili suara mitra pengemudi, penumpang, dan masyarakat Indonesia.
Sementara itu bagi penyedia jasa aplikasi, soal pembatasan tarif akan menyebabkan akses masyarakat terhadap layanan transportasi publik yang murah dan terjangkau menjadi tidak mungkin. Lain halnya dengan kuota bahwa kebutuhan masyarakat akan layanan yang nyaman dan terjangkau terus tumbuh.
Sebagai wadah pelaku usaha industri transportasi, Organda tidak alergi terhadap perkembangan tehnologi selama ini, namun yang perlu dicatat soal kepatuhan terhadap regulasi yang telah disepakati meskipun ada masih ada beberapa kekurangan.
Apapun kekurangan yang masih ada masih bisa dievaluasi seiring dengan implementasi ketentuan baru soal taksi "online". Akhirnya masyarakat pengguna jasa transportasi yang akan memilih menggunakan taksi konvensional atau taksi "online".
Terpenting sesama perusahaan transportasi ini tidak melanggar ketentuan yang ada.
Ini semua untuk konsumen. Kalau taksi "online" mengapi-apikan pertentangan, konsumen akan marah. Begitu juga taksi konvensional jangan mengatakan dianaktirikan. Apa yang dilakukan pemerintah adalah untuk kesetaraan dan memberikan kesempatan berbisnis, berkehidupan yang sama, supaya semua eksis. (Ben/An)
Peraturan itu merupakan pengganti dari Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam Trayek yang sebelumnya telah dianulir oleh Mahkamah Konstitusi.
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 108 itu diterbitkan setelah melalui berbagai dialog publik di beberapa kota di Indonesia, seperti di Bandung, Semarang, Surabaya, Medan dan Makassar untuk mendengar langsung respons masyarakat di berbagi daerah terkait dengan aturan bisnis taksi online ini.
Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan berusaha berdiri di tengah dengan mengakomodasi semua pihak, mengutamakan kepentingan masyarakat luas, kepentingan nasional, dan juga kepentingan pengguna jasa dalam hal keselamatan, perlindungan konsumen, kesetaraan, dan kesempatan berusaha.
Sebagaimana disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Perhubungan Sugihardjo bahwa dalam peraturan baru tersebut terdapat sembilan hal pokok yang menjadi perhatian khusus, yakni soal argometer, wilayah operasi, pengaturan tarif, STNK (surat tanda nomor kendaraan bermotor), kuota, domisili TNKB (tanda nomor kendaraan bermotor), persyaratan izin, SRUT (sertifikat registrasi uji tipe), dan pengaturan peran aplikator.
Mengenai argometer yaitu bahwa besaran biaya angkutan sesuai yang tercantum pada argometer yang ditera ulang atau pada aplikasi berbasis teknologi informasi. Soal wilayah operasi menetapkan wilayah operasi dari taksi online saat mereka beroperasi.
Pengaturan tarif yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengguna jasa dan penyedia jasa transportasi melalui aplikasi teknologi informasi dengan berpedoman pada tarif batas atas dan batas bawah yang ditetapkan oleh Dirjen Perhubungan Darat dan Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ)/Gubernur sesuai dengan kewenangannya.
Mengenai STNK atas nama badan hukum atau dapat atas nama perorangan untuk badan hukum berbentuk Koperasi. Soal kuoto ditetapkan oleh Dirjen Perhubungan Darat/Kepala BPTJ/Gubernur sesuai kewenangannya.
Domisili TNKB menggunakan tanda nomor kendaraan bermotor sesuai dengan wilayah operasi. Persyaratan izin memiliki paling sedikit lima kendaraan yang dibuktikan dengan STNK atas nama badan hukum atau dapat atas nama perorangan untuk badan hukum berbentuk koperasi.
SRUT kendaraan bermotor atau salinan bukti lulus uji berupa buku uji/kartu lulus uji yang masih berlaku. Pengaturan peran aplikator mengatur ketentuan bahwa perusahaan aplikasi dilarang bertindak sebagai perusahaan angkutan umum.
Kesetaraan Ketentuan untuk angkutan taksi daring itu secara filosofi merupakan upaya kesetaraan antara angkutan umum konvensional dengan angkutan berbasis aplikasi internet.
Publik membutuhkan kedua jenis angkutan umum tersebut sehingga perlu pengaturan yang memenuhi asas kesetaraan. Taksi konvensional, misalnya, merupakan suatu kegiatan yang mewadahi masyarakat sudah begitu lama. Apalagi banyak perusahaan taksi konvensional yang "gulung tikar" terdampak oleh keberadaan taksi daring.
Sementara keberadaan taksi daring (online) merupakan sebuah keniscayaan, bahkan hadir lebih awal dibandingkan peraturan. Oleh karena itu pemerintah hadir memberikan payung sekaligus memberikan kesetaraan baik bagi konvensional ataupun daring.
Dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 108 itu diharapkan semua pemangku kepentingan, termasuk angkutan online dan konvensional dapat memahami dan mematuhi peraturan ini, karena proses penyusunannya sudah mengakomodasi semua pihak, dengan mempertimbangkan UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah dan UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan.
Saling memahami dan memahami peraturan itu membutuhkan kesadaran bersama, terutama dari para pemangku kepentingan terkait, agar praktik di lapangan setelah adanya peraturan baru itu dapat berjalan dengan baik.
Hal itu perlu diingatkan karena sebelumnya pihak Organda (Organisasi Angkutan Darat) menyesalkan pelanggaran aturan yang dilakukan oleh perusahaan teknologi aplikasi taksi daring, terutama terkait kuota dan tarif.
Perihal para mitra perusahaan teknologi penyedia aplikasi yang telah berinvestasi butuh perhatian. Mereka memiliki risiko usaha sebagai pengusaha angkutan umum sewa berbasis aplikasi. Persoalan utama yaitu terkait kuota dan tarif yang dinilai tidak mau ditaati oleh perusahaan teknologi penyedia aplikasi padahal pengalaman dan kenyataan yang dialami para sopir taksi daring (mitra online) merasa sebaliknya.
Artinya dengan penambahan armada yang begitu marak dan tarif bersaing murah dengan pelbagai promo yang memanjakan pengguna, ternyata menjadikan mereka bersaing ketat untuk mendapatkan penghasilan sehingga mimpi menjadi pengusaha angkutan, berujung utang mobil yang tidak terbayar. Adalah menjadi wajar ketika usulan kuota dan pengaturan tarif dari para pengemudi daring ini diadopsi oleh pemerintah.
Selama ini juga para pengusaha angkutan umum kecil di daerah-daerah merupakan pihak yang paling terkena dampak dari penerapan tarif murah angkutan-angkutan umum berbasis aplikasi.
Perusahaan-perusahaan teknologi pembuat aplikasi tersebut sebenarnya merupakan perusahaan angkutan umum karena secara hukum produk jasa yang dikeluarkan terkait transportasi. Mereka menjadi perusahaan teknologi yang menyediakan jasa transportasi ketika diberikan pilihan oleh pemerintah untuk menjadi perusahaan angkutan umum atau perusahaan teknologi.
Untuk itu perusahaan teknologi aplikasi memang sudah seharusnya mengikuti aturan jika tidak ingin terganggu dengan aturan yang ada. Mereka bisa tetap menjadi perusahaan teknologi pembuat aplikasi penyedia jasa transportasi.
Organda tidak bisa menampik pernyataan pihak penyedia jasa aplikasi transportasi yang mengklaim pihaknya mewakili suara mitra pengemudi, penumpang, dan masyarakat Indonesia.
Sementara itu bagi penyedia jasa aplikasi, soal pembatasan tarif akan menyebabkan akses masyarakat terhadap layanan transportasi publik yang murah dan terjangkau menjadi tidak mungkin. Lain halnya dengan kuota bahwa kebutuhan masyarakat akan layanan yang nyaman dan terjangkau terus tumbuh.
Sebagai wadah pelaku usaha industri transportasi, Organda tidak alergi terhadap perkembangan tehnologi selama ini, namun yang perlu dicatat soal kepatuhan terhadap regulasi yang telah disepakati meskipun ada masih ada beberapa kekurangan.
Apapun kekurangan yang masih ada masih bisa dievaluasi seiring dengan implementasi ketentuan baru soal taksi "online". Akhirnya masyarakat pengguna jasa transportasi yang akan memilih menggunakan taksi konvensional atau taksi "online".
Terpenting sesama perusahaan transportasi ini tidak melanggar ketentuan yang ada.
Ini semua untuk konsumen. Kalau taksi "online" mengapi-apikan pertentangan, konsumen akan marah. Begitu juga taksi konvensional jangan mengatakan dianaktirikan. Apa yang dilakukan pemerintah adalah untuk kesetaraan dan memberikan kesempatan berbisnis, berkehidupan yang sama, supaya semua eksis. (Ben/An)
Budi Setiawanto
Tags:
Otomotif