Purwokerto, 11/11 (Seotama) - Tidak dapat dipungkiri bahwa pada saat ini internet dan media sosial merupakan bagian dari gaya hidup masyarakat, terutama generasi muda, kaum millenial. Dunia maya dan berbagai perangkat digital seakan tidak terpisahkan dari keseharian masyarakat pada era kekinian.
Bagaimana tidak, dengan adanya internet, masyarakat dapat "terhubung" antara satu dan lainnya dengan sangat mudah, tanpa ada batas ruang dan waktu. Misalnya, menggunakan aplikasi pesan singkat. Selain itu, masyarakat juga dapat dengan mudah mengakses berbagai jenis informasi yang mereka dibutuhkan dengan berselancar di dunia maya.
Berbagai kemudahan itu, menjadikan internet dan media sosial, menjadi makin dekat di hati masyarakat, khususnya anak-anak muda, para generasi milenial. Meski demikian, di balik gegap gempita internet dan media sosial #KidsZamanNow, ada sejumlah hal yang perlu menjadi perhatian bersama.
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Edi Santoso mengatakan bahwa para generasi muda rentan terpapar konten negatif internet.
Pasalnya, hampir semua ada di internet, ada banyak hal positif, tidak dapat dipungkiri ada pula hal yang bernuansa negatif. Generasi muda yang tidak siap dengan keberlimpahan informasi itulah, menurut dia, yang rentan terpapar konten-konten yang negatif.
Apa saja konten negatif yang dapat ditemukan di internet? Misalnya, adanya nuansa pornografi dan kekerasan.
Meskipun demikian, internet adalah realitas zaman yang tidak dapat dihindarkan. Dalam arti, apakah dengan adanya konten bernuansa negatif, lalu kita menutup diri dari internet? Apakah para orang tua lantas harus "mengisolasi" anak-anak dari internet? Menurut dia, anak tidak perlu diisolasi atau dihindarkan dari internet, tetapi ditumbuhkan resistensinya. Di situlah peran orang tua menanamkan daya imun atau resistensi terhadap internet.
Salah satu caranya, kata dia, orang tua lebih intensif dalam mendampingi anak dalam mengakses internet yang begitu mudah diakses dari berbagai ragam gawai (gadget). Dalam khasanah komunikasi, hal tersebut disebut sebagai literasi media atau literasi internet, yakni kemampuan mengonsumsi isi media secara konstruktif.
Ada satu problem, yang saya kira tak mudah diatasi, yakni fakta bahwa media sosial yang terkoneksi dengan belantara dunia maya yang "open source", semua orang bisa mengunggah apa pun, kemudian bisa diunggah atau dintip, dilihat oleh siapa pun, katanya.
Menurut dia, salah satu risiko koneksitas global melalui dunia maya adalah paparan konten-konten yang bernuansa negatif. "Ini isu klasik sebetulnya," katanya sudah ada sejak era "#KidsZamanOld"
Sejauh ini, terkait dengan konten-konten negatif, telah ada upaya pemblokiran oleh Pemerintah. Pemblokiran artinya pemerintah memutus konektivitas publik dengan penyedia konten pornografi.
Pertanyaannya seberapa efektif program itu? Terlalu banyak konten porno di belantara "online", dan terlalu terbatas daya teknis untuk memblokirnya. Pornografi sangat mudah diakses #KidsZamanNow anak-anak era millenial.
Maka, selain isu pemblokiran yang berdimensi struktural, isu antipornografi ini mestinya juga dilihat secara kultural. Misalnya, dengan pendekatan literasi, melalui pencerdasan warganet (netizen).
Orang tua berbicara mengenai penanaman "daya imun" anak dari paparan konten negatif yang ada di internet, tentu saja peran orang tua yang lagi-lagi menjadi wadah pertama dan utama.
Ketua Umum Ikatan Praktisi dan Ahli Parenting Indonesia (iParent) Sudibyo Alimoeso menambahkan bahwa konten negatif di internet sangatlah memprihatinkan.
Oleh karena itu, para orang tua dituntut untuk mampu memberikan penjelasan kepada anak-anak mereka tentang pemakaian gawai (gadget) dan penggunaan media sosial secara bijak Apabila orang tua telah paham tentang besarnya risiko yang disebabkan karena penggunaan gawai, semestinya orang tua dapat memberikan prakondisi dalam pemberian "gadget" yang disesuaikan dengan perkembangan umur anak.
Pada usia anak yang masih dini sampai menjelang remaja, misalnya, pengawasan akan lebih mudah karena bisa langsung dengan membuat aturan. Misalnya, pemakaian gawai dilakukan saat orang tua ada di rumah atau setelah pukul 18.00. Agar anak tidak bosan, orang tua dapat memberikan kesibukan dengan mainan atau diajak melihat-lihat lingkungan di dalam maupun di luar rumah.
Untuk anak yang sudah remaja dan menjelang dewasa, kata dia, dapat diberikan pengertian yang mendalam tentang risiko dan tanggung jawab yang berkaitan dengan pornografi. Dalam artian, orang tua harus memberikan pemahaman sejelas-jelasnya dan tidak perlu menyembunyikan istilah-istilah terkait dengan organ reproduksi agar anak remaja mengerti yang dimaksud.
Selain itu, Sudibyo mengingatkan pentingnya mengimbau para anak didik, melalui sekolah-sekolah dengan mengedepankan pendekatan yang ramah anak dan remaja. Penguatan pendidikan karakter sesuai dengan Perpres Nomor 87 Tahun 2017, menurut dia, perlu lebih diintensifkan.
Dalam penguatan pendidikan karakter tersebut diperlukan sinergitas trisentra pendidikan, yaitu sekolah, keluarga, dan masyarakat. Khusus keluarga, ini yang merupakan sekolah pertama dan utama pendidikan karakter. Perlu diberikan pula pembekalan yang cukup bagi orang tua tentang pengasuhan anak yang benar.
Pada penguatan karakter tersebut, ada "empat olah" yang harus diharmonisasikan, yaitu olah pikir, olah rasa, olah raga, dan olah hati.
Bagaimana tidak, dengan adanya internet, masyarakat dapat "terhubung" antara satu dan lainnya dengan sangat mudah, tanpa ada batas ruang dan waktu. Misalnya, menggunakan aplikasi pesan singkat. Selain itu, masyarakat juga dapat dengan mudah mengakses berbagai jenis informasi yang mereka dibutuhkan dengan berselancar di dunia maya.
Berbagai kemudahan itu, menjadikan internet dan media sosial, menjadi makin dekat di hati masyarakat, khususnya anak-anak muda, para generasi milenial. Meski demikian, di balik gegap gempita internet dan media sosial #KidsZamanNow, ada sejumlah hal yang perlu menjadi perhatian bersama.
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Edi Santoso mengatakan bahwa para generasi muda rentan terpapar konten negatif internet.
Pasalnya, hampir semua ada di internet, ada banyak hal positif, tidak dapat dipungkiri ada pula hal yang bernuansa negatif. Generasi muda yang tidak siap dengan keberlimpahan informasi itulah, menurut dia, yang rentan terpapar konten-konten yang negatif.
Apa saja konten negatif yang dapat ditemukan di internet? Misalnya, adanya nuansa pornografi dan kekerasan.
Meskipun demikian, internet adalah realitas zaman yang tidak dapat dihindarkan. Dalam arti, apakah dengan adanya konten bernuansa negatif, lalu kita menutup diri dari internet? Apakah para orang tua lantas harus "mengisolasi" anak-anak dari internet? Menurut dia, anak tidak perlu diisolasi atau dihindarkan dari internet, tetapi ditumbuhkan resistensinya. Di situlah peran orang tua menanamkan daya imun atau resistensi terhadap internet.
Salah satu caranya, kata dia, orang tua lebih intensif dalam mendampingi anak dalam mengakses internet yang begitu mudah diakses dari berbagai ragam gawai (gadget). Dalam khasanah komunikasi, hal tersebut disebut sebagai literasi media atau literasi internet, yakni kemampuan mengonsumsi isi media secara konstruktif.
Ada satu problem, yang saya kira tak mudah diatasi, yakni fakta bahwa media sosial yang terkoneksi dengan belantara dunia maya yang "open source", semua orang bisa mengunggah apa pun, kemudian bisa diunggah atau dintip, dilihat oleh siapa pun, katanya.
Menurut dia, salah satu risiko koneksitas global melalui dunia maya adalah paparan konten-konten yang bernuansa negatif. "Ini isu klasik sebetulnya," katanya sudah ada sejak era "#KidsZamanOld"
Sejauh ini, terkait dengan konten-konten negatif, telah ada upaya pemblokiran oleh Pemerintah. Pemblokiran artinya pemerintah memutus konektivitas publik dengan penyedia konten pornografi.
Pertanyaannya seberapa efektif program itu? Terlalu banyak konten porno di belantara "online", dan terlalu terbatas daya teknis untuk memblokirnya. Pornografi sangat mudah diakses #KidsZamanNow anak-anak era millenial.
Maka, selain isu pemblokiran yang berdimensi struktural, isu antipornografi ini mestinya juga dilihat secara kultural. Misalnya, dengan pendekatan literasi, melalui pencerdasan warganet (netizen).
Orang tua berbicara mengenai penanaman "daya imun" anak dari paparan konten negatif yang ada di internet, tentu saja peran orang tua yang lagi-lagi menjadi wadah pertama dan utama.
Ketua Umum Ikatan Praktisi dan Ahli Parenting Indonesia (iParent) Sudibyo Alimoeso menambahkan bahwa konten negatif di internet sangatlah memprihatinkan.
Oleh karena itu, para orang tua dituntut untuk mampu memberikan penjelasan kepada anak-anak mereka tentang pemakaian gawai (gadget) dan penggunaan media sosial secara bijak Apabila orang tua telah paham tentang besarnya risiko yang disebabkan karena penggunaan gawai, semestinya orang tua dapat memberikan prakondisi dalam pemberian "gadget" yang disesuaikan dengan perkembangan umur anak.
Pada usia anak yang masih dini sampai menjelang remaja, misalnya, pengawasan akan lebih mudah karena bisa langsung dengan membuat aturan. Misalnya, pemakaian gawai dilakukan saat orang tua ada di rumah atau setelah pukul 18.00. Agar anak tidak bosan, orang tua dapat memberikan kesibukan dengan mainan atau diajak melihat-lihat lingkungan di dalam maupun di luar rumah.
Untuk anak yang sudah remaja dan menjelang dewasa, kata dia, dapat diberikan pengertian yang mendalam tentang risiko dan tanggung jawab yang berkaitan dengan pornografi. Dalam artian, orang tua harus memberikan pemahaman sejelas-jelasnya dan tidak perlu menyembunyikan istilah-istilah terkait dengan organ reproduksi agar anak remaja mengerti yang dimaksud.
Selain itu, Sudibyo mengingatkan pentingnya mengimbau para anak didik, melalui sekolah-sekolah dengan mengedepankan pendekatan yang ramah anak dan remaja. Penguatan pendidikan karakter sesuai dengan Perpres Nomor 87 Tahun 2017, menurut dia, perlu lebih diintensifkan.
Dalam penguatan pendidikan karakter tersebut diperlukan sinergitas trisentra pendidikan, yaitu sekolah, keluarga, dan masyarakat. Khusus keluarga, ini yang merupakan sekolah pertama dan utama pendidikan karakter. Perlu diberikan pula pembekalan yang cukup bagi orang tua tentang pengasuhan anak yang benar.
Pada penguatan karakter tersebut, ada "empat olah" yang harus diharmonisasikan, yaitu olah pikir, olah rasa, olah raga, dan olah hati.
- Olah pikir membuat anak semakin cerdas, kritis, kreatif, inovatif, mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi dengan berorientasi pada iptek.
- Olah raga membuat tubuh menjadi sehat, bersih, dan membentuk watak yang sportif, disiplin, tangguh, bersahabat, kooperatif, kompetitif, ceria, dan gigih.
- Olah rasa membentuk karakter yang ramah, saling menghargai, toleran, peduli, suka menolong, mengutamakan kepentingan umum, dan beretos kerja tinggi.
- Olah hati akan membentuk watak yang jujur, amanah, adil, bertanggung jawab, serta beriman dan bertakwa.
Pada akhirnya kristalisasi dari nilai nilai karakter yang ditanamkan tersebut diharapkan dapat membentuk karakter anak dengan nilai religius, nasionalis, integritas, gotong royong, dan mandiri.
Menurut dia, yang terpenting tidak mudah terpengaruh pada paparan-paparan konten negatif yang ada pada era digital. (S/An)
Wuryanti Puspitasari
Tags:
Millenial