Kementerian Keuangan mengalokasikan anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2018 untuk penyelenggaraan pilkada serentak 2018 dan persiapan Pemilu 2019 sebesar Rp16 triliun.
Jumlah sebesar itu telah disepakati oleh pemerintah bersama DPR dan tercantum dalam Undang-undang Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2018.
Sebagaimana disampaikan oleh Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan Askolani pada Rabu (25/10) bahwa anggaran Rp16 triliun itu masuk dalam anggaran pertahanan keamanan dan demokrasi sebesar Rp220,8 triliun pada APBN 2018 atau naik sebesar Rp19,2 triliun dari tahun sebelumnya.
Pemungutan suara pilkada serentak yang dijadwalkan pada 27 Juni 2018 akan berlangsung di 171 daerah terdiri atas 17 provinsi untuk memilih gubernur dan wakil gubernur, 39 kota untuk memiliki wali kota dan wakil wali kota, dan di 115 kabupaten untuk memilih bupati dan wakil bupati periode 2018-2023.
Sepanjang 2018 juga berjalan berbagai tahapan persiapan pelaksanaan Pemilu 2019 yang merupakan sejarah baru bagi bangsa Indonesia karena untuk pertama kalinya serentak memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR, anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah. Pemungutan suara Pemilu 2019 dijadwalkan berlangsung pada 17 April 2019.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadi institusi terbesar dalam mengelola anggaran dana pemilu tersebut, yakni sebesar Rp12,5 triliun.
Sorotan tentunya akan tertuju pada lembaga penyelenggara pemilu itu dalam pengelolaan dana triliunan rupiah.
Kehati-hatian dalam pengelolaan anggaran dana pemilu itu sudah diingatkan oleh Ketua KPU Arief Budiman. Jumlah anggaran sebesar itu lebih dari dua kali lipatnya dibandingkan dengan anggaran untuk Pilkada 2015 yang sekitar Rp6 triliun atau Pilkada 2017 yang hanya sekitar Rp4 triliun.
Dalam rapat evaluasi hasil pengawasan Pilkada Tahun 2017 dan monitoring tindak lanjut hasil pemeriksaan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), di Kota Pontianak pada Jumat (27/10) lalu, misalnya, Ketua KPU mewanti-wanti untuk kehati-hatian dalam penggunaan anggaran.
Penggunaan anggaran tersebut berkaitan dengan laporan pertanggungjawaban keuangan. KPU provinsi, kabupaten/kota yang menyelenggarakan pilkada wajib menerapkan pola pertanggungjawaban keuangan yang cermat.
KPU memiliki tanggung jawab atas laporan keuangan yang dilakukan oleh masing-masing daerah penyelenggara pilkada. Apalagi pada 2018, KPU bertekad meraih opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dari hasil pemeriksaan keuangan BPK.
KPU pada tahun ini meraih predikat wajar dengan pengecualian (WDP) dari BPK, pada periode-periode sebelum Arief Budiman, KPU kerap hanya mendapat predikat "disclaimer" (tidak memberikan pendapat). Semangatnya tentu saja bukan hanya untuk memperoleh predikat WTP tetapi adalah untuk memperbaiki dan bertanggung jawab secara moral kepada bangsa ini. Bahwa setiap rupiah yang digunakan itu bisa dipertanggungjawabkan dengan baik.
Cermat penggunaan Dalam pengelolaan anggaran tersebut, tak ada jalan lain bagi KPU kecuali wajib melakukannya secara cermat dalam rencana kerja dan anggaran.
KPU perlu menyusun kebijakan agar anggaran yang dikelola oleh masing-masing satuan kerja (satker) KPU tidak mengalami ketimpangan.
Kondisi fiskal sangat terbatas apalagi terjadi ketimpangan anggaran yang dikelola oleh tiap-tiap satker. Di satu sisi, bagi satker yang akan menyelenggarakan pilkada memiliki alokasi anggaran yang luas namun di sisi lain satker yang tidak melaksanakan pilkada anggarannya sangat mepet hanya untuk dana operasional kantor.
Seluruh jajaran KPU di daerah harus bersama-sama dengan KPU RI melakukan sinkronisasi untuk mengetahui kebutuhan anggaran riil di masing-masing provinsi sehingga KPU dapat mengetahui program mana yang akan dijadikan prioritas. Tetap harus ada pola yang perlu diterapkan, misalnya, di satu sisi anggarannya harus ada yang "top down" tetapi juga di sisi lain juga ada anggaran yang polanya "bottom up".
Setelah melakukan sinkronisasi tersebut, KPU perlu menyusun kebijakan, misalnya, untuk mengalihkan 10 persen anggaran dari daerah yang akan melaksanakan pilkada, ke daerah yang pada tahun 2018 tidak melaksanakan pilkada. Dengan kebijakan itu, KPU berharap kondisi anggaran KPU di tiap-tiap satker dalam ambang sehat dan tidak mengalami ketimpangan yang berarti.
Dengan mengalihkan anggaran sekitar 10 persen dari satker KPU di daerah yang menyelenggarakan pilkada, kepada daerah yang tidak pilkada dapat membantu dana operasional satker KPU di daerah yang tidak menyelenggarakan sehingga tidak kesulitan membuat program kerja. Selain itu tiap-tiap satker KPU perlu menyusun perencanaan anggaran dengan prinsip cermat dan kehati-hatian, mengingat pada tahun 2018, akan mengelola anggaran yang besar. Pada tahun 2018 akan banyak anggaran yang berputar di KPU, kurang lebih Rp25 triliun. Dari anggaran untuk pemilu nasional Rp10,9 triliun, untuk pilkada Rp11,8 triliun, ditambah dengan pagu indikatif anggaran rutin 2018 sudah mencapai Rp1,63 triliun. Jadi hampir Rp24 triliun akan berputar di 514 satker KPU.
Langkah yang perlu dilakukan antara lain KPU provinsi perlu memetakan daerah mana saja dari KPU kabupaten/kota yang sulit menyerap anggaran diluar anggaran untuk fasilitasi perselisihan hasil pemilihan (PHP) dan kebutuhan anggaran wajib lainnya.
Dengan pemetaan tersebut, KPU RI dapat mengalokasikan anggaran tersebut dengan baik dan tepat.
KPU perlu melakukan perencanaan anggaran dengan cermat, dan tidak menganggap enteng tahap perencanaan anggaran terebut, karena keberhasilan pemilihan diawali dengan keberhasilan dalam melakukan perencanaan. Perencanaan merupakan kunci dari pelaksanaan sampai dengan keberhasilan penyelenggaraan dan evaluasi pemilu.
Anggaran pemilu antara lain dialokasikan untuk beberapa kegiatan seperti pencalonan, pemutakhiran data pemilih, perekrutan beserta honor penyelenggara pemilu hingga tingkat ad hoc, sosialisasi pemilu, kampanye dan sebagian kebutuhan logistik. Logistik pemilu dibagi ke dalam dua kelompok yakni logistik pemungutan suara dan logistik non-pemungutan suara. Pembiayaan kedua kelompok logistik tersebut disesuaikan dengan jadwal produksinya.
Apakah anggaran dana sebesar Rp16 triliun itu mencukupi bagi penyelenggaran pemilu mendatang? Bisa mencukupi, bisa juga tidak, apalagi ada potensi kenaikan anggaran Pemilu 2019 jika dibandingkan dengan Pemilu 2014, misalnya, soal pembiayaan kampanye calon oleh KPU sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Sebagai pembanding pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden/Wakil Presiden pada pada 2014, anggarannya mencapai Rp21 triliun tetapi realisasi penggunaan anggaran hanya sebesar Rp16 triliun.
Kondisi tahun pemilu, terkait pelaksanaan Pilkada 2018 dan Pemilu 2019, tentu berbeda dengan Pemilu 2014, dan akan membawa konsekuensi berbeda pula dalam kebutuhan anggaran pembiayaannya.
Terpenting adalah anggaran pembiayaan pemilu dapat mewujudkan pelaksanaan pemilu yang demokratis. Seperti jargon resmi KPU bahwa "Pemilih Berdaulat, Negara Kuat", pemilu memang merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat. Pemilih itu berdaulat sehingga membuat negara kuat dengan memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.
Jumlah sebesar itu telah disepakati oleh pemerintah bersama DPR dan tercantum dalam Undang-undang Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2018.
Sebagaimana disampaikan oleh Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan Askolani pada Rabu (25/10) bahwa anggaran Rp16 triliun itu masuk dalam anggaran pertahanan keamanan dan demokrasi sebesar Rp220,8 triliun pada APBN 2018 atau naik sebesar Rp19,2 triliun dari tahun sebelumnya.
Pemungutan suara pilkada serentak yang dijadwalkan pada 27 Juni 2018 akan berlangsung di 171 daerah terdiri atas 17 provinsi untuk memilih gubernur dan wakil gubernur, 39 kota untuk memiliki wali kota dan wakil wali kota, dan di 115 kabupaten untuk memilih bupati dan wakil bupati periode 2018-2023.
Sepanjang 2018 juga berjalan berbagai tahapan persiapan pelaksanaan Pemilu 2019 yang merupakan sejarah baru bagi bangsa Indonesia karena untuk pertama kalinya serentak memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR, anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah. Pemungutan suara Pemilu 2019 dijadwalkan berlangsung pada 17 April 2019.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadi institusi terbesar dalam mengelola anggaran dana pemilu tersebut, yakni sebesar Rp12,5 triliun.
Sorotan tentunya akan tertuju pada lembaga penyelenggara pemilu itu dalam pengelolaan dana triliunan rupiah.
Kehati-hatian dalam pengelolaan anggaran dana pemilu itu sudah diingatkan oleh Ketua KPU Arief Budiman. Jumlah anggaran sebesar itu lebih dari dua kali lipatnya dibandingkan dengan anggaran untuk Pilkada 2015 yang sekitar Rp6 triliun atau Pilkada 2017 yang hanya sekitar Rp4 triliun.
Dalam rapat evaluasi hasil pengawasan Pilkada Tahun 2017 dan monitoring tindak lanjut hasil pemeriksaan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), di Kota Pontianak pada Jumat (27/10) lalu, misalnya, Ketua KPU mewanti-wanti untuk kehati-hatian dalam penggunaan anggaran.
Penggunaan anggaran tersebut berkaitan dengan laporan pertanggungjawaban keuangan. KPU provinsi, kabupaten/kota yang menyelenggarakan pilkada wajib menerapkan pola pertanggungjawaban keuangan yang cermat.
KPU memiliki tanggung jawab atas laporan keuangan yang dilakukan oleh masing-masing daerah penyelenggara pilkada. Apalagi pada 2018, KPU bertekad meraih opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dari hasil pemeriksaan keuangan BPK.
KPU pada tahun ini meraih predikat wajar dengan pengecualian (WDP) dari BPK, pada periode-periode sebelum Arief Budiman, KPU kerap hanya mendapat predikat "disclaimer" (tidak memberikan pendapat). Semangatnya tentu saja bukan hanya untuk memperoleh predikat WTP tetapi adalah untuk memperbaiki dan bertanggung jawab secara moral kepada bangsa ini. Bahwa setiap rupiah yang digunakan itu bisa dipertanggungjawabkan dengan baik.
Cermat penggunaan Dalam pengelolaan anggaran tersebut, tak ada jalan lain bagi KPU kecuali wajib melakukannya secara cermat dalam rencana kerja dan anggaran.
KPU perlu menyusun kebijakan agar anggaran yang dikelola oleh masing-masing satuan kerja (satker) KPU tidak mengalami ketimpangan.
Kondisi fiskal sangat terbatas apalagi terjadi ketimpangan anggaran yang dikelola oleh tiap-tiap satker. Di satu sisi, bagi satker yang akan menyelenggarakan pilkada memiliki alokasi anggaran yang luas namun di sisi lain satker yang tidak melaksanakan pilkada anggarannya sangat mepet hanya untuk dana operasional kantor.
Seluruh jajaran KPU di daerah harus bersama-sama dengan KPU RI melakukan sinkronisasi untuk mengetahui kebutuhan anggaran riil di masing-masing provinsi sehingga KPU dapat mengetahui program mana yang akan dijadikan prioritas. Tetap harus ada pola yang perlu diterapkan, misalnya, di satu sisi anggarannya harus ada yang "top down" tetapi juga di sisi lain juga ada anggaran yang polanya "bottom up".
Setelah melakukan sinkronisasi tersebut, KPU perlu menyusun kebijakan, misalnya, untuk mengalihkan 10 persen anggaran dari daerah yang akan melaksanakan pilkada, ke daerah yang pada tahun 2018 tidak melaksanakan pilkada. Dengan kebijakan itu, KPU berharap kondisi anggaran KPU di tiap-tiap satker dalam ambang sehat dan tidak mengalami ketimpangan yang berarti.
Dengan mengalihkan anggaran sekitar 10 persen dari satker KPU di daerah yang menyelenggarakan pilkada, kepada daerah yang tidak pilkada dapat membantu dana operasional satker KPU di daerah yang tidak menyelenggarakan sehingga tidak kesulitan membuat program kerja. Selain itu tiap-tiap satker KPU perlu menyusun perencanaan anggaran dengan prinsip cermat dan kehati-hatian, mengingat pada tahun 2018, akan mengelola anggaran yang besar. Pada tahun 2018 akan banyak anggaran yang berputar di KPU, kurang lebih Rp25 triliun. Dari anggaran untuk pemilu nasional Rp10,9 triliun, untuk pilkada Rp11,8 triliun, ditambah dengan pagu indikatif anggaran rutin 2018 sudah mencapai Rp1,63 triliun. Jadi hampir Rp24 triliun akan berputar di 514 satker KPU.
Langkah yang perlu dilakukan antara lain KPU provinsi perlu memetakan daerah mana saja dari KPU kabupaten/kota yang sulit menyerap anggaran diluar anggaran untuk fasilitasi perselisihan hasil pemilihan (PHP) dan kebutuhan anggaran wajib lainnya.
Dengan pemetaan tersebut, KPU RI dapat mengalokasikan anggaran tersebut dengan baik dan tepat.
KPU perlu melakukan perencanaan anggaran dengan cermat, dan tidak menganggap enteng tahap perencanaan anggaran terebut, karena keberhasilan pemilihan diawali dengan keberhasilan dalam melakukan perencanaan. Perencanaan merupakan kunci dari pelaksanaan sampai dengan keberhasilan penyelenggaraan dan evaluasi pemilu.
Anggaran pemilu antara lain dialokasikan untuk beberapa kegiatan seperti pencalonan, pemutakhiran data pemilih, perekrutan beserta honor penyelenggara pemilu hingga tingkat ad hoc, sosialisasi pemilu, kampanye dan sebagian kebutuhan logistik. Logistik pemilu dibagi ke dalam dua kelompok yakni logistik pemungutan suara dan logistik non-pemungutan suara. Pembiayaan kedua kelompok logistik tersebut disesuaikan dengan jadwal produksinya.
Apakah anggaran dana sebesar Rp16 triliun itu mencukupi bagi penyelenggaran pemilu mendatang? Bisa mencukupi, bisa juga tidak, apalagi ada potensi kenaikan anggaran Pemilu 2019 jika dibandingkan dengan Pemilu 2014, misalnya, soal pembiayaan kampanye calon oleh KPU sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Sebagai pembanding pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden/Wakil Presiden pada pada 2014, anggarannya mencapai Rp21 triliun tetapi realisasi penggunaan anggaran hanya sebesar Rp16 triliun.
Kondisi tahun pemilu, terkait pelaksanaan Pilkada 2018 dan Pemilu 2019, tentu berbeda dengan Pemilu 2014, dan akan membawa konsekuensi berbeda pula dalam kebutuhan anggaran pembiayaannya.
Terpenting adalah anggaran pembiayaan pemilu dapat mewujudkan pelaksanaan pemilu yang demokratis. Seperti jargon resmi KPU bahwa "Pemilih Berdaulat, Negara Kuat", pemilu memang merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat. Pemilih itu berdaulat sehingga membuat negara kuat dengan memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.
Budi Setiawanto
Tags:
Berita