Jakarta, 30/10 (Seotama) - Bukan negara besar lagi yang mengalahkan negara kecil tetapi negara cepat mampu mengalahkan negara yang bergerak lambat.
Cepat dalam artian selalu bisa mengantisipasi dan melakukan perubahan berdasarkan kecenderungan perkembangan teknologi informasi yang memungkinkan setiap bangsa melesat dalam berbagai unggulan inovasi termasuk inovasi disruptif.
Presiden Joko Widodo saat memberikan orasi pada Dies Natalis ke-60 Universitas Diponegoro di Stadion Universitas Diponegoro, Kota Semarang, Jawa Tengah, pada Selasa (17/10), antara lain mengemukakan inovasi disruptif dalam hampir semua aspek kehidupan belakangan ini bermunculan.
Istilah inovasi disruptif atau "disruptive innovation" akhir-akhir ini populer didengungkan untuk menumbuhkan kesadaran umum bahwa dunia terus berubah sesuai perkembangan zaman.
Model inovasi disruptif (disruptive innovation) ini diperkenalkan oleh Clayton M Christensen, seorang Guru Besar Administrasi Bisnis dari Universitas Harvard, AS, yang terkemuka. Inovasi disruptif menciptakan pasar baru, mengganggu, bahkan merusak pasar yang sudah eksis, sehingga menggantikan teknologi yang telah dianggap ketinggalan zaman.
Berbagai model pembayaran tunai, misalnya, saat ini telah beralih menjadi pembayaran uang digital nontunai, pertokoan atau gerai permanen banyak yang bangkrut lantaran hadir model toko dalam jaringan (online), perdagangan umum berpaling kepada mekanisme "e-commerce", bahkan pendataan manual penduduk telah beralih kepada kepemilikan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP).
Beragam media massa yang sebelumnya mengandalkan teknologi cetak atau teknologi terestrial (analog) beralih kepada media digital, produk-produk seni seperti lagu, video, dan film juga berubah menjadi produk kreatif serba digital.
Pertumbuhan kemajuan teknologi digital di Indonesia yang pesat bisa jadi mengarah negeri ini menjadi bangsa digital (Indonesia Digital Nation).
Indonesia sedang mengalami masa pergeseran gaya hidup, pola konsumsi dan produksi dari "offline" ke "online". Lembaga riset pasar, e-Marketer memperkirakan netter (warganet) Indonesia bakal mencapai 123 juta orang pada 2018. Melihat begitu tingginya angka penetrasi pengguna internet di Indonesia, penerapan teknologi digital menjadi suatu keharusan bahkan kebutuhan bagi para pelaku bisnis.
Salah satu teknologi yang mengubah dunia bisnis adalah kehadiran "mobile internet" yang mengakibatkan pertumbuhan pesat di bidang perdagangan dan digital marketing.
Perkembangan ekonomi digital Indonesia juga memiliki pasar yang sangat besar karena jumlah penduduk yang mencapai 250 juta jiwa. Sekitar 93,4 juta orang saat ini merupakan pengguna internet (internet users) dan terus mengalami peningkatan jumlahnya untuk masa-masa mendatang. Peluang ini perlu direspons cepat oleh pelaku usaha nasional khususnya sektor industri kecil dan menengah untuk memperluas akses pasar dan meningkatkan pendapatan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik yang diolah Direktorat Jenderal IKM (Industri Kecil dan Menengah) Kementerian Perindustrian, jumlah IKM lokal mencapai 4,4 juta unit usaha dengan menyerap tenaga kerja sebanyak 10,1 juta orang pada tahun 2016.
Oleh karena itu, salah satu program prioritas Kementerian Perindustrian, misalnya, adalah pengembangan IKM dengan platform digital melalui e-Smart IKM, yaitu sistem basis data IKM nasional yang tersaji dalam bentuk profil industri, sentra, dan produk yang diintegrasikan dengan marketplace yang telah ada. Tujuannya untuk semakin meningkatkan akses pasar IKM melalui internet marketing.
Kajian yang dilakukan oleh Google dan Temasek juga menunjukkan tren serupa bahwa pasar online di Asia Tenggara diproyeksikan tumbuh rata-rata sebesar 32 persen per tahun selama 10 tahun ke depan dan akan mencapai angka transaksi sebesar 88 miliar dolar AS pada tahun 2025.
Dari data tersebut, Indonesia diperkirakan memegang peranan signifikan dengan penguasaan sekitar 52 persen pasar "e-commerce" di Asia Tenggara, di mana nilai transaksi akan mencapai 46 miliar dolar AS pada tahun 2025.
Apa yang disampaikan Menteri Kominfo Rudiantara soal utilisasi digitalisasi benar adanya karena digitalisasi dapat memberikan pengaruh positif yang signifikan bila diarahkan untuk penguatan dan pemberdayaan UMKM termasuk dengan skema bisnis 'shared economy' (ekonomi berbagi). Selain itu mengangkat UMKM di wilayah terpencil juga dengan model bisnis yang disruptif. Untuk itu dibutuhkan penyediaan konektifitas yang mumpuni.
Studi kasus keberhasilan model bisnis digital Indonesia untuk menjadi bukti nyata dan praktik terbaik dalam meningkatkan perekonomian bangsa melalui kisah sukses Tokopedia dan Go-Jek. Keduanya dinilai telah berhasil menerapkan model bisnis disruptif yang mampu memberikan peluang bisnis dan lapangan pekerjaan.
Pusat unggulan siapa yang mesti memelopori inovasi disruptif agar Indonesia tampil sebagai negara cepat maju? Tak salah bila perguruan tinggi sebagai pusat-pusat unggulan (centers of excellence) dapat terus-menerus berinovasi sesuai dengan perkembangan zaman.
Presiden Joko Widodo meminta perhatian kalangan perguruan tinggi harus dapat menjawab perubahan dan kebutuhan spesifik saat ini agar sesuai dengan inovasi-inovasi disruptif.
Fakultas atau program studi, misalnya, harus menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi saat ini. Fakultas ekonomi sebaiknya tidak hanya memiliki jurusan akuntansi, manajemen, dan studi pembangunan, namun juga mendirikan jurusan logistik manajemen atau ritel manajemen, bahkan membantuk fakultas ekonomi digital, karena disitulah ekonomi bergerak.
Metode pembelajaran di sekolah-sekolah atau kampus-kampus juga harus diubah agar sesuai dengan karakter generasi muda, dengan mendorong inovasi, memfasilitasi mahasiswa untuk menjadi pembelajar yang aktif, baik di dalam maupun di luar kelas.
Perubahan dunia sangat cepat dan bangsa yang mampu melesat cepat dalam lalu lintas informasi dan perkembangan ilmu pengetahuan bakal tampil sebagai bangsa yang berjaya. Inovasi distruptif, siapa cepat dia yang dapat.
Birokrasi juga menjadi simpul utama dalam memberikan terobosan bagi inovasi disruptif.
Presiden Joko Widodo dalam berbagai kesempatan, terakhir saat Rembuk Nasional 2017 di JI-Expo Kemayoran, Jakarta, Senin malam (23/10), menyampaikan bahwa kebanyakan regulasi yang bertumpuk memiliki potensi tumpang tindih sehingga rentan menghambat kecepatan pembangunan. Regulasi yang menumpuk itu menjadi problem besar sehingga tindakan cepat tidak bisa diputuskan.
Presiden bahkan menyebutkan sekitar 42 ribu peraturan, baik undang-undang, peraturan presiden, peraturan menteri, peraturan gubernur, maupun peraturan wali kota yang rentan memiliki makna bertentangan. Kecepatan birokrasi, kecepatan perizinan dalam melayani investasi-investasi yang datang, perlu akselerasi reformasi birokrasi untuk menyelesaikan dan menyederhanakan regulasi yang menghambat, dengan mengubah sistem lama menjadi sistem baru yang lebih transparan dan kredibel.
Pemerintah melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi telah meluncurkan pemerintahan elektronik (e-govt) untuk mewujudkan birokrasi pemerintahan yang lincah, efektif, dan efisien. Program pemerintahan elektronik yang diluncurkan itu antara lain meliputi pusat komando (command center), e-office, e-salam, e-karpeg, e-data, e-perfomance, data center, disaster recovery center, dan Sijapti (Sistem Informasi Jabatan Pimpinan Tinggi).
Melalui sistem tersebut, dipastikan akan mengubah budaya kerja karena pengawasan terhadap kinerja pegawai lebih efektif. Kinerja tiap pegawai bisa dimonitor secara terinci. Selain itu, e-govt juga memberikan penghematan anggaran karena surat-menyurat menjadi lebih efisien dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi.
Sistem e-govt dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi ini bersifat terbuka agar bisa direplikasi oleh kementerian dan lembaga maupun pemerintah daerah. Diharapkan dengan adanya peluncuran tersebut juga menginspirasi kementerian-lembaga dan pemerintahan daerah dalam melaksanakan e-govt.
Inovasi memang terus-menerus dibutuhkan oleh aparatur negara di tengah dinamika teknologi yang begitu cepat di masyarakat. Tanpa inovasi, akan membuat negara terhambat dan terhuyung-huyung dalam melaksanakan tujuannya untuk menyejahterakan masyarakat, kata Menkopolhukam Wiranto menanggapi peluncuran "e-govt" di Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi itu.
Sistem pemerintahan yang berbasis teknologi elektronik sejalan dengan visi Nawacita, dalam mewujudkan kehadiran negara dan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya.
Beragam inovasi dalam pemerintahan ini merupakan perwujudan reformasi birokrasi yang substansial. Pemanfaatan teknologi informasi lebih memudahkan dalam pelayanan birokrasi yang cepat, murah, dan tepat sebagaimana kebutuhan publik, masyarakat atau dunia usaha, sehingga dapat meningkatkan daya saing bangsa.
Nah, daya saing Indonesia, berdasarkan laporan Daya Saing Global dari World Economic Forum (WEF) 2017/2018, menempatkan Indonesia pada posisi 36 dari 137 negara, di bawah Thailand yang berada di peringkat 32 atau Malaysia di posisi 23. Posisi Indonesia itu naik signifikan dari peringkat 60 yang dicapai pada tahun 2016.
Sebagaimana penilaian Wakil Presiden Jusuf Kalla bahwa kenaikan peringkat daya saing Indonesia itu masih belum cukup sehingga negeri ini masih perlu melakukan perbaikan-perbaikan internal, pertama peraturan-peraturan kita, yang kedua kepastian hukum, ketiga memang infrastruktur yang mau dibangun besar-besaran ini harus betul-betul terjadi.
Jadi mari kerja sama untuk mengadu cepat dalam inovasi disruptif agar bangsa ini semakin cepat maju dan disegani oleh bangsa-bangsa di dunia. (S/An)
Cepat dalam artian selalu bisa mengantisipasi dan melakukan perubahan berdasarkan kecenderungan perkembangan teknologi informasi yang memungkinkan setiap bangsa melesat dalam berbagai unggulan inovasi termasuk inovasi disruptif.
Presiden Joko Widodo saat memberikan orasi pada Dies Natalis ke-60 Universitas Diponegoro di Stadion Universitas Diponegoro, Kota Semarang, Jawa Tengah, pada Selasa (17/10), antara lain mengemukakan inovasi disruptif dalam hampir semua aspek kehidupan belakangan ini bermunculan.
Istilah inovasi disruptif atau "disruptive innovation" akhir-akhir ini populer didengungkan untuk menumbuhkan kesadaran umum bahwa dunia terus berubah sesuai perkembangan zaman.
Model inovasi disruptif (disruptive innovation) ini diperkenalkan oleh Clayton M Christensen, seorang Guru Besar Administrasi Bisnis dari Universitas Harvard, AS, yang terkemuka. Inovasi disruptif menciptakan pasar baru, mengganggu, bahkan merusak pasar yang sudah eksis, sehingga menggantikan teknologi yang telah dianggap ketinggalan zaman.
Berbagai model pembayaran tunai, misalnya, saat ini telah beralih menjadi pembayaran uang digital nontunai, pertokoan atau gerai permanen banyak yang bangkrut lantaran hadir model toko dalam jaringan (online), perdagangan umum berpaling kepada mekanisme "e-commerce", bahkan pendataan manual penduduk telah beralih kepada kepemilikan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP).
Beragam media massa yang sebelumnya mengandalkan teknologi cetak atau teknologi terestrial (analog) beralih kepada media digital, produk-produk seni seperti lagu, video, dan film juga berubah menjadi produk kreatif serba digital.
Pertumbuhan kemajuan teknologi digital di Indonesia yang pesat bisa jadi mengarah negeri ini menjadi bangsa digital (Indonesia Digital Nation).
Indonesia sedang mengalami masa pergeseran gaya hidup, pola konsumsi dan produksi dari "offline" ke "online". Lembaga riset pasar, e-Marketer memperkirakan netter (warganet) Indonesia bakal mencapai 123 juta orang pada 2018. Melihat begitu tingginya angka penetrasi pengguna internet di Indonesia, penerapan teknologi digital menjadi suatu keharusan bahkan kebutuhan bagi para pelaku bisnis.
Salah satu teknologi yang mengubah dunia bisnis adalah kehadiran "mobile internet" yang mengakibatkan pertumbuhan pesat di bidang perdagangan dan digital marketing.
Perkembangan ekonomi digital Indonesia juga memiliki pasar yang sangat besar karena jumlah penduduk yang mencapai 250 juta jiwa. Sekitar 93,4 juta orang saat ini merupakan pengguna internet (internet users) dan terus mengalami peningkatan jumlahnya untuk masa-masa mendatang. Peluang ini perlu direspons cepat oleh pelaku usaha nasional khususnya sektor industri kecil dan menengah untuk memperluas akses pasar dan meningkatkan pendapatan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik yang diolah Direktorat Jenderal IKM (Industri Kecil dan Menengah) Kementerian Perindustrian, jumlah IKM lokal mencapai 4,4 juta unit usaha dengan menyerap tenaga kerja sebanyak 10,1 juta orang pada tahun 2016.
Oleh karena itu, salah satu program prioritas Kementerian Perindustrian, misalnya, adalah pengembangan IKM dengan platform digital melalui e-Smart IKM, yaitu sistem basis data IKM nasional yang tersaji dalam bentuk profil industri, sentra, dan produk yang diintegrasikan dengan marketplace yang telah ada. Tujuannya untuk semakin meningkatkan akses pasar IKM melalui internet marketing.
Kajian yang dilakukan oleh Google dan Temasek juga menunjukkan tren serupa bahwa pasar online di Asia Tenggara diproyeksikan tumbuh rata-rata sebesar 32 persen per tahun selama 10 tahun ke depan dan akan mencapai angka transaksi sebesar 88 miliar dolar AS pada tahun 2025.
Dari data tersebut, Indonesia diperkirakan memegang peranan signifikan dengan penguasaan sekitar 52 persen pasar "e-commerce" di Asia Tenggara, di mana nilai transaksi akan mencapai 46 miliar dolar AS pada tahun 2025.
Apa yang disampaikan Menteri Kominfo Rudiantara soal utilisasi digitalisasi benar adanya karena digitalisasi dapat memberikan pengaruh positif yang signifikan bila diarahkan untuk penguatan dan pemberdayaan UMKM termasuk dengan skema bisnis 'shared economy' (ekonomi berbagi). Selain itu mengangkat UMKM di wilayah terpencil juga dengan model bisnis yang disruptif. Untuk itu dibutuhkan penyediaan konektifitas yang mumpuni.
Studi kasus keberhasilan model bisnis digital Indonesia untuk menjadi bukti nyata dan praktik terbaik dalam meningkatkan perekonomian bangsa melalui kisah sukses Tokopedia dan Go-Jek. Keduanya dinilai telah berhasil menerapkan model bisnis disruptif yang mampu memberikan peluang bisnis dan lapangan pekerjaan.
Pusat unggulan siapa yang mesti memelopori inovasi disruptif agar Indonesia tampil sebagai negara cepat maju? Tak salah bila perguruan tinggi sebagai pusat-pusat unggulan (centers of excellence) dapat terus-menerus berinovasi sesuai dengan perkembangan zaman.
Presiden Joko Widodo meminta perhatian kalangan perguruan tinggi harus dapat menjawab perubahan dan kebutuhan spesifik saat ini agar sesuai dengan inovasi-inovasi disruptif.
Fakultas atau program studi, misalnya, harus menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi saat ini. Fakultas ekonomi sebaiknya tidak hanya memiliki jurusan akuntansi, manajemen, dan studi pembangunan, namun juga mendirikan jurusan logistik manajemen atau ritel manajemen, bahkan membantuk fakultas ekonomi digital, karena disitulah ekonomi bergerak.
Metode pembelajaran di sekolah-sekolah atau kampus-kampus juga harus diubah agar sesuai dengan karakter generasi muda, dengan mendorong inovasi, memfasilitasi mahasiswa untuk menjadi pembelajar yang aktif, baik di dalam maupun di luar kelas.
Perubahan dunia sangat cepat dan bangsa yang mampu melesat cepat dalam lalu lintas informasi dan perkembangan ilmu pengetahuan bakal tampil sebagai bangsa yang berjaya. Inovasi distruptif, siapa cepat dia yang dapat.
Birokrasi juga menjadi simpul utama dalam memberikan terobosan bagi inovasi disruptif.
Presiden Joko Widodo dalam berbagai kesempatan, terakhir saat Rembuk Nasional 2017 di JI-Expo Kemayoran, Jakarta, Senin malam (23/10), menyampaikan bahwa kebanyakan regulasi yang bertumpuk memiliki potensi tumpang tindih sehingga rentan menghambat kecepatan pembangunan. Regulasi yang menumpuk itu menjadi problem besar sehingga tindakan cepat tidak bisa diputuskan.
Presiden bahkan menyebutkan sekitar 42 ribu peraturan, baik undang-undang, peraturan presiden, peraturan menteri, peraturan gubernur, maupun peraturan wali kota yang rentan memiliki makna bertentangan. Kecepatan birokrasi, kecepatan perizinan dalam melayani investasi-investasi yang datang, perlu akselerasi reformasi birokrasi untuk menyelesaikan dan menyederhanakan regulasi yang menghambat, dengan mengubah sistem lama menjadi sistem baru yang lebih transparan dan kredibel.
Pemerintah melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi telah meluncurkan pemerintahan elektronik (e-govt) untuk mewujudkan birokrasi pemerintahan yang lincah, efektif, dan efisien. Program pemerintahan elektronik yang diluncurkan itu antara lain meliputi pusat komando (command center), e-office, e-salam, e-karpeg, e-data, e-perfomance, data center, disaster recovery center, dan Sijapti (Sistem Informasi Jabatan Pimpinan Tinggi).
Melalui sistem tersebut, dipastikan akan mengubah budaya kerja karena pengawasan terhadap kinerja pegawai lebih efektif. Kinerja tiap pegawai bisa dimonitor secara terinci. Selain itu, e-govt juga memberikan penghematan anggaran karena surat-menyurat menjadi lebih efisien dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi.
Sistem e-govt dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi ini bersifat terbuka agar bisa direplikasi oleh kementerian dan lembaga maupun pemerintah daerah. Diharapkan dengan adanya peluncuran tersebut juga menginspirasi kementerian-lembaga dan pemerintahan daerah dalam melaksanakan e-govt.
Inovasi memang terus-menerus dibutuhkan oleh aparatur negara di tengah dinamika teknologi yang begitu cepat di masyarakat. Tanpa inovasi, akan membuat negara terhambat dan terhuyung-huyung dalam melaksanakan tujuannya untuk menyejahterakan masyarakat, kata Menkopolhukam Wiranto menanggapi peluncuran "e-govt" di Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi itu.
Sistem pemerintahan yang berbasis teknologi elektronik sejalan dengan visi Nawacita, dalam mewujudkan kehadiran negara dan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya.
Beragam inovasi dalam pemerintahan ini merupakan perwujudan reformasi birokrasi yang substansial. Pemanfaatan teknologi informasi lebih memudahkan dalam pelayanan birokrasi yang cepat, murah, dan tepat sebagaimana kebutuhan publik, masyarakat atau dunia usaha, sehingga dapat meningkatkan daya saing bangsa.
Nah, daya saing Indonesia, berdasarkan laporan Daya Saing Global dari World Economic Forum (WEF) 2017/2018, menempatkan Indonesia pada posisi 36 dari 137 negara, di bawah Thailand yang berada di peringkat 32 atau Malaysia di posisi 23. Posisi Indonesia itu naik signifikan dari peringkat 60 yang dicapai pada tahun 2016.
Sebagaimana penilaian Wakil Presiden Jusuf Kalla bahwa kenaikan peringkat daya saing Indonesia itu masih belum cukup sehingga negeri ini masih perlu melakukan perbaikan-perbaikan internal, pertama peraturan-peraturan kita, yang kedua kepastian hukum, ketiga memang infrastruktur yang mau dibangun besar-besaran ini harus betul-betul terjadi.
Jadi mari kerja sama untuk mengadu cepat dalam inovasi disruptif agar bangsa ini semakin cepat maju dan disegani oleh bangsa-bangsa di dunia. (S/An)
Budi Setiwanto
Tags:
Internet Marketing