Derap langkah kaki para "Berliner", sebutan bagi penduduk kota Berlin terdengar terburu-buru menuruni tangga stasiun kereta bawah tanah Alexanderplatz.
Kata "cepat" memang sudah melekat sekali dengan apapun yang ada di Jerman, apalagi orang-orangnya yang tidak terbiasa untuk membuang-buang waktu.
Ada yang tidak ditemukan di stasiun kereta bawah tanah atau "U-Bahn" itu, yaitu "gate" atau pintu bagi penumpang menuju kereta.
Di satu sisi, "gate" adalah gerbang, tetapi di sisi lain, "gate" bisa saja diartikan sebagai "penghalang".
Pada umumnya, penumpang menunjukkan tiket kepada petugas atau menempelkan kartu yang berisi uang elektronik di "gate" tersebut kemudian baru bisa masuk.
Seperti di Indonesia, sistem pembayaran tiket dengan menempelkan kartu yang berisi uang elektronik tengah gencar diterapkan mulai dari kereta rel listrik (KRL), diikuti bus Transjakarta, kemudian pembayaran di tol dan lainnya.
Di negara-negara maju lainnya, seperti Jepang pun demikian, masih menerapkan sistem "gate" elektronik, namun tidak dengan di Jerman.
Penumpang hanya membeli tiket untuk satu minggu atau satu bulan, kemudian verifikasi dengan alat khusus di stasiun untuk mencatat tanggal mulai digunakan tiket tersebut.
Dari situ, tidak perlu lagi menempelkan kartu di "gate" karena memang tidak ada, asalkan kartu itu harus dibawa setiap bepergian menggunakan kereta.
Tidak ada inspeksi secara intens di dalam kereta untuk mengecek kepemilikan kartu bagi penumpang.
Kesempatan itu bisa saja dimanfaatkan oknum-oknum tidak bertanggung jawab dalam bepergian secara gratis keliling Kota Berlin, hanya saja kalau sedang sial bisa dikenakan 60 euro atau setara Rp1 juta.
Seorang warga Jerman Christian Schnack mengungkapkan apabila sering kedapatan tidak memiliki tiket, maka yang bersangkutan bisa dipenjara.
"Banyak tahanan di Berlin adalah orang-orang yang kedapatan tidak memiliki tiket ketika inspeksi di kereta," katanya.
Namun, apabila kita benar-benar lupa, kata dia, kita bisa menjelaskan ke petugas dan membawa bukti kepemilikian kartu tersebut di hari berikutnya.
Tiket untuk satu minggu perjalanan dikenakan 30 euro atau Rp482.000 yang bisa dipakai kapan saja dan dalam frekuensi tidak terbatas dalam waktu seminggu tersebut.
Kereta Cepat Sistem tanpa "gate" itu juga diterapkan bukan hanya di stasiun kereta bawah tanah, tetapi juga stasiun besar untuk kereta cepat.
Namun, untuk kereta cepat atau ICE ini, inspeksi tetap dilakukan di setiap perjalanan dengan menunjukkan tiket.
ICE merupakan kereta dengan kecepatan 250-300 kilometer per jam atau sekelas dengan Shinkansen di Jepang atau TGV di Prancis.
Christian mengaku lebih efisien menggunakan kereta dari kota ke kota lainnya, seperti dari Berlin ke Frankfurt dibandingkan dengan pesawat.
Selain lebih praktis, tidak ada "gate", pengecekan barang dan sebagainya juga bisa mendapatkan tiket yang lebih murah apabila memesan dari jauh-jauh hari.
Misalnya, untuk pembelian tiket dua bulan ke depan, harga tiket kereta cepat bisa 40-50 euro sekitar Rp650.000, tetapi apabila kita buru-buru dan terpaksa membeli di dalam kereta, harga tiket bisa meroket dua kali lipatnya, yaitu Rp150 euro atau setara dengan Rp2,4 juta.
Namun, kata dia, itu tergantung jarak yang ditempuh, misalnya dari Berlin ke Gottingen harga tiket dikenakan sekitar Rp1,5 juta dengan waktu tempuh 2,5 jam untuk jarak 335,3 kilometer atau setara dengan jarak Jakarta-Pekalongan.
"Kita enggak perlu 'check in', enggak perlu pemeriksaan bagasi dan lebih murah dari harga tiket pesawat kalau kita sedang beruntung, tapi menurut saya kereta adalah moda yang paling efisien," ujarnya.
Di kereta cepat ICE juga terdapat kelas kompartemen yang tentunya membedakan harga tiket, seperti kelas satu, bisnis dan ekonomi.
Namun, calon penumpang bisa mendapatkan diskon dengan membeli kartu khusus, yaitu "Bahn Card", untuk diskon 25 persen kartu dibanderol 70 euro, sementara untuk diskon 50 persen seharga 250 euro yang bisa dipakai selama satu tahun untuk perjalanan kereta apa saja.
Christian mengatakan sistem perkeretaapian di Jerman sudah dibangun dan dikembangkan sejak 100 tahun silam, jadi saat ini sistemnya sudah terbentuk.
Sistem itu pulalah yang turut membentuk kesadaran orang-orang Jerman, meskipun ada celah bagi mereka untuk menyusup dengan tidak membeli tiket, tetapi mereka tidak akan memilih cara curang itu.
Bisa dibilang, "gate-nya" adalah kesadaran diri mereka sendiri.
Salah satu yang merasakan berkereta di Jerman adalah aktris sekaligus ustadzah asal Indonesia, yaitu Oki Setiana Dewi.
Oki menceritakan pengalamannya bepergian dengan kereta, mulai dari U-Bahn, S-Banh (elevated/layang) hingga kereta cepat dari Berlin ke Gottingen dari Gottingen ke Frankfurt.
"Orang Jerman itu memiliki kultur yang serba efisien, memiliki kesadaran sendiri, kalau melakukan kesalahan mereka akan malu sendiri, meskipun di stasiunnya tidak dijaga," katanya.
Ia merasakan bepergian dengan kereta di Jerman sangat cepat dan nyaman, meskipun dia dalam kondisi mengandung tujuh bulan.
Subsidi Besar Guru Besar Pusat Studi Transportasi dan Logistik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Danang Parikesit menjelaskan di negara-negara Eropa besarnya subsidi operasional angkutan umum 70-80 persen dibiayai oleh pemerintah, sehingga fungsi pendapatan tiket hanya 20-30 persen.
"Dengan demikian, kebutuhan untuk verifikasi dan audit pemeriksaan pendapatan tiket tidak sebesar di negara-negara Asia," katanya.
Tentu hal itu berbeda dengan sistem di negara-negara Asia di mana subsidi pemerintah hanya untuk belanja infrastuktur, bukan untuk operasional.
Sementara itu, di Paris biaya angkutan umum sebagian dibebankan ke perusahaan yang berada di Greater Paris, pekerja hanya membayar sisanya setelah ada juga dari subsidi pemerintah.
Dia menyebutkan rata-rata kota-kota di Skandinavia, hampir 100 persen operasional disubsidi.
Kalau di kita dan kota-kota Asia, setiap sen itu berharga, katanya.
Di sisi lain, pintu diterapkan karena faktor keselamatan dan keamanan, sementara itu di negara maju faktor seperti itu bukan isu yang besar. Namun, menurut Danang, dengan adanya beberapa kejadian terorisme, isu keamanan dan keselamatan mulai menjadi perhatian mereka.
Gate mungkin akan menjadi prosedur standar ke depan. London termasuk yang sangat ketat menerapkan ini, katanya. (Ben/An)
Kata "cepat" memang sudah melekat sekali dengan apapun yang ada di Jerman, apalagi orang-orangnya yang tidak terbiasa untuk membuang-buang waktu.
Ada yang tidak ditemukan di stasiun kereta bawah tanah atau "U-Bahn" itu, yaitu "gate" atau pintu bagi penumpang menuju kereta.
Di satu sisi, "gate" adalah gerbang, tetapi di sisi lain, "gate" bisa saja diartikan sebagai "penghalang".
Pada umumnya, penumpang menunjukkan tiket kepada petugas atau menempelkan kartu yang berisi uang elektronik di "gate" tersebut kemudian baru bisa masuk.
Seperti di Indonesia, sistem pembayaran tiket dengan menempelkan kartu yang berisi uang elektronik tengah gencar diterapkan mulai dari kereta rel listrik (KRL), diikuti bus Transjakarta, kemudian pembayaran di tol dan lainnya.
Di negara-negara maju lainnya, seperti Jepang pun demikian, masih menerapkan sistem "gate" elektronik, namun tidak dengan di Jerman.
Penumpang hanya membeli tiket untuk satu minggu atau satu bulan, kemudian verifikasi dengan alat khusus di stasiun untuk mencatat tanggal mulai digunakan tiket tersebut.
Dari situ, tidak perlu lagi menempelkan kartu di "gate" karena memang tidak ada, asalkan kartu itu harus dibawa setiap bepergian menggunakan kereta.
Tidak ada inspeksi secara intens di dalam kereta untuk mengecek kepemilikan kartu bagi penumpang.
Kesempatan itu bisa saja dimanfaatkan oknum-oknum tidak bertanggung jawab dalam bepergian secara gratis keliling Kota Berlin, hanya saja kalau sedang sial bisa dikenakan 60 euro atau setara Rp1 juta.
Seorang warga Jerman Christian Schnack mengungkapkan apabila sering kedapatan tidak memiliki tiket, maka yang bersangkutan bisa dipenjara.
"Banyak tahanan di Berlin adalah orang-orang yang kedapatan tidak memiliki tiket ketika inspeksi di kereta," katanya.
Namun, apabila kita benar-benar lupa, kata dia, kita bisa menjelaskan ke petugas dan membawa bukti kepemilikian kartu tersebut di hari berikutnya.
Tiket untuk satu minggu perjalanan dikenakan 30 euro atau Rp482.000 yang bisa dipakai kapan saja dan dalam frekuensi tidak terbatas dalam waktu seminggu tersebut.
Kereta Cepat Sistem tanpa "gate" itu juga diterapkan bukan hanya di stasiun kereta bawah tanah, tetapi juga stasiun besar untuk kereta cepat.
Namun, untuk kereta cepat atau ICE ini, inspeksi tetap dilakukan di setiap perjalanan dengan menunjukkan tiket.
ICE merupakan kereta dengan kecepatan 250-300 kilometer per jam atau sekelas dengan Shinkansen di Jepang atau TGV di Prancis.
Christian mengaku lebih efisien menggunakan kereta dari kota ke kota lainnya, seperti dari Berlin ke Frankfurt dibandingkan dengan pesawat.
Selain lebih praktis, tidak ada "gate", pengecekan barang dan sebagainya juga bisa mendapatkan tiket yang lebih murah apabila memesan dari jauh-jauh hari.
Misalnya, untuk pembelian tiket dua bulan ke depan, harga tiket kereta cepat bisa 40-50 euro sekitar Rp650.000, tetapi apabila kita buru-buru dan terpaksa membeli di dalam kereta, harga tiket bisa meroket dua kali lipatnya, yaitu Rp150 euro atau setara dengan Rp2,4 juta.
Namun, kata dia, itu tergantung jarak yang ditempuh, misalnya dari Berlin ke Gottingen harga tiket dikenakan sekitar Rp1,5 juta dengan waktu tempuh 2,5 jam untuk jarak 335,3 kilometer atau setara dengan jarak Jakarta-Pekalongan.
"Kita enggak perlu 'check in', enggak perlu pemeriksaan bagasi dan lebih murah dari harga tiket pesawat kalau kita sedang beruntung, tapi menurut saya kereta adalah moda yang paling efisien," ujarnya.
Di kereta cepat ICE juga terdapat kelas kompartemen yang tentunya membedakan harga tiket, seperti kelas satu, bisnis dan ekonomi.
Namun, calon penumpang bisa mendapatkan diskon dengan membeli kartu khusus, yaitu "Bahn Card", untuk diskon 25 persen kartu dibanderol 70 euro, sementara untuk diskon 50 persen seharga 250 euro yang bisa dipakai selama satu tahun untuk perjalanan kereta apa saja.
Christian mengatakan sistem perkeretaapian di Jerman sudah dibangun dan dikembangkan sejak 100 tahun silam, jadi saat ini sistemnya sudah terbentuk.
Sistem itu pulalah yang turut membentuk kesadaran orang-orang Jerman, meskipun ada celah bagi mereka untuk menyusup dengan tidak membeli tiket, tetapi mereka tidak akan memilih cara curang itu.
Bisa dibilang, "gate-nya" adalah kesadaran diri mereka sendiri.
Salah satu yang merasakan berkereta di Jerman adalah aktris sekaligus ustadzah asal Indonesia, yaitu Oki Setiana Dewi.
Oki menceritakan pengalamannya bepergian dengan kereta, mulai dari U-Bahn, S-Banh (elevated/layang) hingga kereta cepat dari Berlin ke Gottingen dari Gottingen ke Frankfurt.
"Orang Jerman itu memiliki kultur yang serba efisien, memiliki kesadaran sendiri, kalau melakukan kesalahan mereka akan malu sendiri, meskipun di stasiunnya tidak dijaga," katanya.
Ia merasakan bepergian dengan kereta di Jerman sangat cepat dan nyaman, meskipun dia dalam kondisi mengandung tujuh bulan.
Subsidi Besar Guru Besar Pusat Studi Transportasi dan Logistik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Danang Parikesit menjelaskan di negara-negara Eropa besarnya subsidi operasional angkutan umum 70-80 persen dibiayai oleh pemerintah, sehingga fungsi pendapatan tiket hanya 20-30 persen.
"Dengan demikian, kebutuhan untuk verifikasi dan audit pemeriksaan pendapatan tiket tidak sebesar di negara-negara Asia," katanya.
Tentu hal itu berbeda dengan sistem di negara-negara Asia di mana subsidi pemerintah hanya untuk belanja infrastuktur, bukan untuk operasional.
Sementara itu, di Paris biaya angkutan umum sebagian dibebankan ke perusahaan yang berada di Greater Paris, pekerja hanya membayar sisanya setelah ada juga dari subsidi pemerintah.
Dia menyebutkan rata-rata kota-kota di Skandinavia, hampir 100 persen operasional disubsidi.
Kalau di kita dan kota-kota Asia, setiap sen itu berharga, katanya.
Di sisi lain, pintu diterapkan karena faktor keselamatan dan keamanan, sementara itu di negara maju faktor seperti itu bukan isu yang besar. Namun, menurut Danang, dengan adanya beberapa kejadian terorisme, isu keamanan dan keselamatan mulai menjadi perhatian mereka.
Gate mungkin akan menjadi prosedur standar ke depan. London termasuk yang sangat ketat menerapkan ini, katanya. (Ben/An)
Tags:
Berita