Fakta bahwa sepertiga dari jumlah para koruptor yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berasal dari kalangan politikus merupakan
indikator yang memperlihatkan integritas aktor politik itu, kini berada
dalam situasi yang mencemaskan.
Itu yang antara lain
melatarbelakangi safari para komisioner KPK ke markas partai-partai
politik untuk membantu membangun integritas para kader yang mudah
terjerembab ke lembah skandal rasuah.
Berbeda dengan profesi
guru atau dokter, misalnya, yang ketika mengalami krisis integritas,
dampak destruktif yang ditimbulkan secara seketika tidak semasif ketika
kondisi nirintegritas itu disandang politikus.
Politikus
yang tak berintegritas bisa mengakibatkan kehancuran ekologis, yang pada
awalnya dimulai dari pembahasan rancangan undang-undang tentang apa pun
yang berkaitan dengan sumber daya alam.
Pengusaha tambang
bisa menyuap politikus di parlemen untuk meloloskan pasal-pasal yang
memungkinkan sang pengusaha mengeruk hasil tambang di lahan hutan
lindung.
Politikus pun bisa mendistorsi prioritas dana dalam
membangun masyarakat yang sehat, cerdas untuk menjadi masyarakat yang
kurang nutrisi, kerdil, dan bodoh.
Itu yang terjadi belum
lama ini ketika dana sekian triliun yang bisa dipakai untuk program
pemberian makanan tambahan bagi siswa di kawasan terbelakang,
dialokasikan untuk pembuatan kartu tanda penduduk elektronik yang
akhirnya dikorup ramai-ramai.
Kebijakan yang bisa
menyejahterakan rakyat dengan menyediakan harga beras, bahan bakar
minyak, listrik yang murah, dapat terkendala karena ulah politikus yang
korup.
Bahkan, bencana alam, seperti banjir, tanah longsor,
kebakaran, sungai-sungai yang kotor, bisa diusut asal-usulnya sampai ke
kebijakan publik yang dihasilkan oleh para legislator.
Itu
sebabnya, kini publik yang mulai sadar bahwa mereka tak lagi
memgembalikan tragedi natural itu pada suratan takdir tapi keculasan dan
kesalahan politikus.
Ketika integritas politikus itu berada
di titik nadir, yang terjadi adalah korupsi yang mengakibatkan kerusakan di segala sektor kehidupan.
Korupsi yang berdampak
langsung pada ekonomi biaya tinggi akan mengakibatkan daya saing
Indonesia di tingkat internasional menjadi rendah, yang akan diikuti
oleh keengganan invertor menanam modalnya di sini.
Di bidang
pendidikan, korupsi mengakibatkan kualitas pendidikan merosot karena
fasilitas tak memadai, buku-buku pelajaran bermutu rendah, jual beli
soal ujian marak, dan untuk menjadi karyawan tak perlu harus pintar asal
punya relasi dengan orang kuat di lembaga yang dituju.
Di
era Orde Baru, ketika keterbukaan dan orang-orang kritis dibungkam
dengan berbagai intimidasi, dampak korupsi itu begitu terasa. Namun,
orde yang ditopang militer itu bertahan hanya 32 tahun.
Kesintasannya dibayar dengan eksploitasi sumber daya alam yang
mengakibatkan gundulnya jutaan hektare lahan hutan, eksploitasi
habis-habisan tambang minyak, mineral dan sebagainya.
Kini,
setelah reformasi, yang diikuti keterbukaan dan kemerdekaan mengkritik,
seyogianya korupsi dapat dibendung. Namun, belum seratus persen berhasil
menghentikan korupsi. Yang terjadi adalah migrasi kecenderungan korupsi
dari sang penguasa eksekutif beralih ke aktor politik, yang sebagian
berkiprah di legislatif.
Ikhtiar komisioner KPK untuk
membantu elite dan kader parpol untuk membangun integritas tampaknya tak
berpengaruh signifikan sejauh kematangan publik dalam berdemokrasi tak
mengalami peningkatan signifikan.
Demokrasi yang berfungsi
normal dan efektif semestinyalah menyingkirkan politikus yang tak
berintegritas dalam panggung politik nasional maupun lokal.
Ketika mayoritas publik mempunyai kesadaran menghukum politikus yang tak
berintegritas berjaya dalam setiap pemilihan umum, itulah momentum
paling krusial dalam membangun integritas aktor politik.
Namun, tak mudah untuk menuju kesadaran semacam itu. Diperlukan
prasyarat yang juga tak mudah untuk dipenuhi karena penghalang yang
dibuat oleh politikus nirintegritas itu.
Masih sangat banyak
pemilih yang ketika mencoblos dalam pemilu tak sepenuhnya didasarkan
atas pengetahuan mengenai integritas yang dimiliki politikus yang
berlaga dalam pemilu itu.
Publik masih gampang terkecoh oleh
popularitas tokoh, yang antara lain dari kalangan artis, pelawak,
penyanyi tenar, yang sesungguhnya mereka diusung oleh tokoh politik
minim integritas yang kebetulan menjadi penguasa sebuah partai politik.
Itu sebabnya, untuk membangun integritas kader parpol, yang paling
fundamental adalah menyelenggarakan kerja literasi publik yang tak
berkesudahan. Publik yang melek secara kultur, sosial, ekonomi, dan
politik adalah senjata ampuh dalam membangun integritas politikus.
Meski demikian, seruan-seruan elite politik yang konsisten mengajak
semua pihak untuk menjaga, merawat dan memperkuat, bukannya membekukan
atau malah membubarkan benteng penegakan hukum, khususnya untuk
kejahatan luar biasa yang bernama korupsi, agaknya tak perlu dinafikkan
maknanya.
Setidaknya elite politik yang demikian ini
memperlihatkan integritas personalnya dibandingkan dengan elite yang
berdiam saja ketika kader-kadernya melakukan manuver politik untuk
merongrong lembaga pemberantas rasuah yang telah menjerat sekitar 30
persen aktor politik itu.
Ketika kedewasaan publik dalam
demokrasi itu mencapai peningkatan signifikan, yang mulai hilang dari
pemandangan umum di saat pemilu adalah kampanye berbasis praktik politik
uang. Pada titik ini, politikus pun sesungguhnya diuntungkan karena
biaya politik mereka juga mulai berkurang.
Dalam situasi
demikian, yang dipertaruhkan adalah visi dan misi serta rekam jejak sang
politikus dalam meyakinkan publik untuk memberikan akses kesejahteraan
di kemudian hari.
Dampak ikutannya boleh jadi berupa
hilangnya kampanye politik yang heboh dengan riuh redahnya massa yang
turun ke jalan-jalan. Biaya politik yang murah membuka jalan bagi kader
partai politik yang miskin harta tapi kaya etika masuk ke lingkaran
kekuasaan.
M. Sunyoto
Tags:
Berita