Dan di sana, jauh dibalik rumpun bunga Verbina sebuah monumen cinta setinggi sekitar tiga meter berdiri. Menjulang di tengah lautan luas warna ungu. Menanti untuk ditemukan oleh para pengunjung yang meluangkan waktu menyusuri petak demi petak bunga Verbina yang melapisi lahan seluas sekitar 20 hektare itu laiknya sebuah karpet tebal.
Pekan kedua September 2017, ketika 13 wartawan Asia berkunjung ke Kota Jinchang, yang berada tepat di pusat Provinsi Gansu, barat daya China, tak banyak yang mengira bahwa kota tersebut telah mendapuk dirinya dengan julukan baru. Kota Bunga Di China bagian barat.
Tak hanya taman Verbina, jika berkunjung pada awal musim panas maka para pengunjung juga akan disambut dengan hamparan bunga Lavender dan Matahari.
"Ungu dan Kuning" Slogan baru kota yang pernah berjuluk Ibu Kota Nikel China itu.
Terletak di kaki Gunung Qilian bagian utara dan bagian barat Sungai Kuning, kota berpopulasi kurang dari 500 ribu orang tersebut dalam tiga tahun terakhir telah mencoba mengubah citranya dari sebuah kota pertambangan menjadi kota pariwisata.
Mengubah citra kota industri yang jauh dari ramah lingkungan menjadi sebuah kota yang sangat nyaman untuk ditinggali.
Dengan langit biru dan rumpun bunga yang meramaikan setiap sudut kota, Jinchang jauh dari kesan kota pertambangan sekalipun pusat kota tersebut memang terkesan dipenuhi oleh bangunan-bangunan baru.
"Banyak bangunan di pusat kota memang yang baru berusia sekitar 10 tahun," kata Kate, seorang penerjemah dari pemerintah Kota Jinchang yang lebih suka dipanggil dengan nama baratnya.
Gedung-gedung tinggi menjulang yang mewakili perkantoran, pertokoan dan tempat tinggal itu berdiri kokoh di tepi jalanan kota yang lebar --minimal empat jalur-lengang dan bersih.
Sangat bersih, sekalipun tak terlihat satu pun bak sampah di sepanjang jalan.
"Kita punya bak sampah khusus," kata Kate saat ditanya tentang absennya bak sampah dari jalanan kota. Menurut perempuan yang akan menikah pada penghujung tahun itu, Kota Jinchang telah mematenkan bak sampah bawah tanah.
Mengingat letak kota yang berbatasan dengan Gurun Gobi, memasang bak sampah di permukaan sia-sia karena sampah akan selalu beterbangan terbawa angin.
Oleh karena itu, maka bak sampah diletakkan di dalam tanah. Orang yang ingin membuang sampah cukup menggunakan kakinya untuk menginjak tuas pembuka bak sampah.
Kenapa Berubah Sebagai sebuah kota yang kaya beragam mineral, mulai dari nikel, kobalt, mangan, besi dan bahkan emas, pilihan kota itu untuk mengubah citranya di saat kekayaannya masih melimpah menimbulkan pertanyaan.
Siapa sangka sosok dibalik perubahan dratis citra kota itu adalah seorang perempuan tangguh yang merupakan tokoh sentral Komite Partai Komunis China (CPC) Kota Jinchang, Wu Mingming.
Perempuan berambut pendek yang ditunjuk sebagai pejabat penting Komite CPC Kota Jinchang pada 2013 itu telah menjadi penggerak utama dalam proses restrukturisasi perekonomian kota itu.
Dalam bincang singkat di sebuah Museum Bunga di kota itu, Wu Mingming, mengatakan bahwa perubahan citra tersebut berangkat dari kesadaran kota itu untuk terus berkembang karena nikel tak akan selamanya tersedia, sehingga bergantung seumur hidup pada sektor pertambangan bukanlah pilihan bijak.
Apalagi harga nikel pernah turun tajam pada tahun 2015, menjadi 9.231 dolar per ton dari 73.847 dolar per ton pada 2007. Belum lagi kerusakan alam yang harus ditanggung sehingga banyak warga yang hengkang merantau dari kota itu. Isu lingkungan terutama polusi udara menjadi salah satu perhatian serius pemerintah pusat dalam beberapa tahun terakhir.
Diskusi panjang untuk menyelamatkan kota mengantarkan pilihan pada pariwisata. Jika tak lagi dapat menjual tambang maka pariwisaya adalah pilihan menjanjikan. Namun pariwisata apa yang bisa ditawarkan oleh kota yang beralam tandus itu.
Percobaan beberapa kali, termasuk ide memadukan ungu dan kuning, membawa pada bunga Lavender dan Bunga Matahari untuk sebuah pembangunan perekonomian yang berkelanjutan yang mengurangi ketergantungan pada tambang.
Kebudayaan Bunga Keputusan Kota Jinchang untuk berubah tampaknya diresapi dengan serius oleh seluruh lapisan warga. Mereka tidak hanya membangun taman-taman sebagai ajang foto namun juga sebuah kebudayaan yang berpusat pada bunga.
Bicara tentang Jinchang kini tak akan bias lepas dari bunga.
Mulai dari taman-taman cantik penuh warna kuning dan ungu, terkadang juga mawar merah muda-- di Jinshui Lake Lavender Planting Base, Zijin Flower Garden, Longshou Lake, Rose Valley, dan 10 Miles Flower Sea hingga ke makanan dan arsitektur kota.
Puluhan gedung di Jinchang dihiasi oleh mural Lavender. Kota tersebut juga membangun sebuah Museum Bunga untuk memberi para pengunjung cerita dibalik kebudayaan bunga itu.
Dalam museum tersebut para pengunjung tidak hanya dapat mempelajari jenis-jenis bunga yang ada --termasuk bunga bangkai dari Indonesia--dengan ditemani suara burung (walau rekaman) namun juga mengenal kebudayaan bunga yang sudah lekat dalam kehidupan warga Kota Jinchang.
Beberapa ruang dalam museum itu didedikasikan secara khusus untuk membahas tentang motif bunga dalam desain tembikar dan keramik China, lalu desain bunga dalam motif pakaian tradisional dan desain bunga dalam karya lukis.
Tak kalah ketinggalan paket lengkap wisata bunga di Jinchang juga melibatkan kuliner. Sebagaimana sejumlah kota di China, Jinchang juga dikenal dengan pangsitnya. Pangsit di Jinchang merupakan pangsit basah yang dimakan dengan menggunakan kuah panas di atas tungku.
Untuk menyelaraskan dengan kebudayaan bunga yang coba ditanamkan di kota itu maka pangsit di Jinchang telah bertransformasi menjadi sebuah karya seni. Setiap sajian pangsit di piring akan dibentuk sedemikian rupa hingga menyerupai bunga dengan warna-warna yang tak kalah menarik.
"Terlalu indah untuk dimakan" kata sejumlah wartawan saat menatap pangsit-pangsit mungil berisi daging atau sayuran yang ditata sedemikian rupa sehingga menyerupai bunga Teratai di atas danau atau rumpun Lavender.
Selain pangsit, Jinchang juga menjual segala produk yang dekat dengan bunga, mulai dari teh dari kelopak bunga hingga aneka jenis madu atau kue kering berbentuk bunga.
Pasar Domestik Taman-taman luas dibangun dan paket wisata pun disusun. Namun apa yang akan membuat orang tertarik untuk mengunjungi taman di Jinchang, untuk melihat bunga? Cinta.
Tampaknya itu adalah kata yang menjadi dasar dari perubahan besar Jinchang.
Dalam tiga tahun terakhir pemerintah Kota Jinchang mempromosikan keindahan taman bunga di kota itu, tepatnya Zijin Flower Garden, pada pasangan yang tengah jatuh cinta melalui konsep pernikahan massal mereka.
"Tak ada biaya. Anda hanya perlu mendaftar," kata Kate tentang pernikahan bertema modern atau tradisional yang digelar selama empat kali dalam setahun di saat bunga Lavender dan Matahari mekar total.
Puluhan pengantin dari seluruh penjuru China setiap tahunnya mengantri untuk mendapat giliran menikah dan berfoto di tengah lautan bunga tersebut. Sebelum kemudian menuju villa-villa kayu untuk menggelar acara resepsi.
Lautan Lavender, villa kayu dan gazebo pernikahan dalam warna putih. Nuansa yang ditawarkan sepintas memang kental dengan aroma Prancis. Bibit bunga itu pun kabarnya berasal dari Prancis, yang sekali lagi mempertegas budaya "copy and paste".
Namun terlepas dari semua itu, upaya Kota Jinchang untuk melakukan transformasi total adalah sebuah langkah yang layak memperoleh dua jempol. Suatu sikap yang mungkin harus mulai ditiru oleh para pemerintah daerah di Indonesia yang masih menggantungkan diri pada hasil tambang.
Keputusan untuk menjual konsep kebudayaan baru bukan sekedar tempat wisata juga sebuah contoh yang layak dipertimbangkan oleh Indonesia, di mana masih banyak daerah yang belum menggarap sektor pariwisata sebagai satu kesatuan konsep dan hanya bergantung pada keindahan alam.
Dan sebagaimana pernyataan Wu Mingming bahwa mulanya Jinchang memang baru menarget wisatawan lokal maka bisa jadi konsep itu disusun semata agar warga lokal tak perlu jauh-jauh membelanjakan uang di luar negeri untuk sebuah nuansa yang bisa mereka dapatkan di dalam negeri. Dan jika kita bicara warga China maka itu adalah pasar yang besar. Tapi dengan munculnya gagasan Presiden Xi Jinping untuk mewujudkan kembali rute perdagangan Jalur Sutra, lokasi Jinchang menjadi jauh lebih strategis.
Pasar internasional menanti di depan mata.
Pekan kedua September 2017, ketika 13 wartawan Asia berkunjung ke Kota Jinchang, yang berada tepat di pusat Provinsi Gansu, barat daya China, tak banyak yang mengira bahwa kota tersebut telah mendapuk dirinya dengan julukan baru. Kota Bunga Di China bagian barat.
Tak hanya taman Verbina, jika berkunjung pada awal musim panas maka para pengunjung juga akan disambut dengan hamparan bunga Lavender dan Matahari.
"Ungu dan Kuning" Slogan baru kota yang pernah berjuluk Ibu Kota Nikel China itu.
Terletak di kaki Gunung Qilian bagian utara dan bagian barat Sungai Kuning, kota berpopulasi kurang dari 500 ribu orang tersebut dalam tiga tahun terakhir telah mencoba mengubah citranya dari sebuah kota pertambangan menjadi kota pariwisata.
Mengubah citra kota industri yang jauh dari ramah lingkungan menjadi sebuah kota yang sangat nyaman untuk ditinggali.
Dengan langit biru dan rumpun bunga yang meramaikan setiap sudut kota, Jinchang jauh dari kesan kota pertambangan sekalipun pusat kota tersebut memang terkesan dipenuhi oleh bangunan-bangunan baru.
"Banyak bangunan di pusat kota memang yang baru berusia sekitar 10 tahun," kata Kate, seorang penerjemah dari pemerintah Kota Jinchang yang lebih suka dipanggil dengan nama baratnya.
Gedung-gedung tinggi menjulang yang mewakili perkantoran, pertokoan dan tempat tinggal itu berdiri kokoh di tepi jalanan kota yang lebar --minimal empat jalur-lengang dan bersih.
Sangat bersih, sekalipun tak terlihat satu pun bak sampah di sepanjang jalan.
"Kita punya bak sampah khusus," kata Kate saat ditanya tentang absennya bak sampah dari jalanan kota. Menurut perempuan yang akan menikah pada penghujung tahun itu, Kota Jinchang telah mematenkan bak sampah bawah tanah.
Mengingat letak kota yang berbatasan dengan Gurun Gobi, memasang bak sampah di permukaan sia-sia karena sampah akan selalu beterbangan terbawa angin.
Oleh karena itu, maka bak sampah diletakkan di dalam tanah. Orang yang ingin membuang sampah cukup menggunakan kakinya untuk menginjak tuas pembuka bak sampah.
Kenapa Berubah Sebagai sebuah kota yang kaya beragam mineral, mulai dari nikel, kobalt, mangan, besi dan bahkan emas, pilihan kota itu untuk mengubah citranya di saat kekayaannya masih melimpah menimbulkan pertanyaan.
Siapa sangka sosok dibalik perubahan dratis citra kota itu adalah seorang perempuan tangguh yang merupakan tokoh sentral Komite Partai Komunis China (CPC) Kota Jinchang, Wu Mingming.
Perempuan berambut pendek yang ditunjuk sebagai pejabat penting Komite CPC Kota Jinchang pada 2013 itu telah menjadi penggerak utama dalam proses restrukturisasi perekonomian kota itu.
Dalam bincang singkat di sebuah Museum Bunga di kota itu, Wu Mingming, mengatakan bahwa perubahan citra tersebut berangkat dari kesadaran kota itu untuk terus berkembang karena nikel tak akan selamanya tersedia, sehingga bergantung seumur hidup pada sektor pertambangan bukanlah pilihan bijak.
Apalagi harga nikel pernah turun tajam pada tahun 2015, menjadi 9.231 dolar per ton dari 73.847 dolar per ton pada 2007. Belum lagi kerusakan alam yang harus ditanggung sehingga banyak warga yang hengkang merantau dari kota itu. Isu lingkungan terutama polusi udara menjadi salah satu perhatian serius pemerintah pusat dalam beberapa tahun terakhir.
Diskusi panjang untuk menyelamatkan kota mengantarkan pilihan pada pariwisata. Jika tak lagi dapat menjual tambang maka pariwisaya adalah pilihan menjanjikan. Namun pariwisata apa yang bisa ditawarkan oleh kota yang beralam tandus itu.
Percobaan beberapa kali, termasuk ide memadukan ungu dan kuning, membawa pada bunga Lavender dan Bunga Matahari untuk sebuah pembangunan perekonomian yang berkelanjutan yang mengurangi ketergantungan pada tambang.
Kebudayaan Bunga Keputusan Kota Jinchang untuk berubah tampaknya diresapi dengan serius oleh seluruh lapisan warga. Mereka tidak hanya membangun taman-taman sebagai ajang foto namun juga sebuah kebudayaan yang berpusat pada bunga.
Bicara tentang Jinchang kini tak akan bias lepas dari bunga.
Mulai dari taman-taman cantik penuh warna kuning dan ungu, terkadang juga mawar merah muda-- di Jinshui Lake Lavender Planting Base, Zijin Flower Garden, Longshou Lake, Rose Valley, dan 10 Miles Flower Sea hingga ke makanan dan arsitektur kota.
Puluhan gedung di Jinchang dihiasi oleh mural Lavender. Kota tersebut juga membangun sebuah Museum Bunga untuk memberi para pengunjung cerita dibalik kebudayaan bunga itu.
Dalam museum tersebut para pengunjung tidak hanya dapat mempelajari jenis-jenis bunga yang ada --termasuk bunga bangkai dari Indonesia--dengan ditemani suara burung (walau rekaman) namun juga mengenal kebudayaan bunga yang sudah lekat dalam kehidupan warga Kota Jinchang.
Beberapa ruang dalam museum itu didedikasikan secara khusus untuk membahas tentang motif bunga dalam desain tembikar dan keramik China, lalu desain bunga dalam motif pakaian tradisional dan desain bunga dalam karya lukis.
Tak kalah ketinggalan paket lengkap wisata bunga di Jinchang juga melibatkan kuliner. Sebagaimana sejumlah kota di China, Jinchang juga dikenal dengan pangsitnya. Pangsit di Jinchang merupakan pangsit basah yang dimakan dengan menggunakan kuah panas di atas tungku.
Untuk menyelaraskan dengan kebudayaan bunga yang coba ditanamkan di kota itu maka pangsit di Jinchang telah bertransformasi menjadi sebuah karya seni. Setiap sajian pangsit di piring akan dibentuk sedemikian rupa hingga menyerupai bunga dengan warna-warna yang tak kalah menarik.
"Terlalu indah untuk dimakan" kata sejumlah wartawan saat menatap pangsit-pangsit mungil berisi daging atau sayuran yang ditata sedemikian rupa sehingga menyerupai bunga Teratai di atas danau atau rumpun Lavender.
Selain pangsit, Jinchang juga menjual segala produk yang dekat dengan bunga, mulai dari teh dari kelopak bunga hingga aneka jenis madu atau kue kering berbentuk bunga.
Pasar Domestik Taman-taman luas dibangun dan paket wisata pun disusun. Namun apa yang akan membuat orang tertarik untuk mengunjungi taman di Jinchang, untuk melihat bunga? Cinta.
Tampaknya itu adalah kata yang menjadi dasar dari perubahan besar Jinchang.
Dalam tiga tahun terakhir pemerintah Kota Jinchang mempromosikan keindahan taman bunga di kota itu, tepatnya Zijin Flower Garden, pada pasangan yang tengah jatuh cinta melalui konsep pernikahan massal mereka.
"Tak ada biaya. Anda hanya perlu mendaftar," kata Kate tentang pernikahan bertema modern atau tradisional yang digelar selama empat kali dalam setahun di saat bunga Lavender dan Matahari mekar total.
Puluhan pengantin dari seluruh penjuru China setiap tahunnya mengantri untuk mendapat giliran menikah dan berfoto di tengah lautan bunga tersebut. Sebelum kemudian menuju villa-villa kayu untuk menggelar acara resepsi.
Lautan Lavender, villa kayu dan gazebo pernikahan dalam warna putih. Nuansa yang ditawarkan sepintas memang kental dengan aroma Prancis. Bibit bunga itu pun kabarnya berasal dari Prancis, yang sekali lagi mempertegas budaya "copy and paste".
Namun terlepas dari semua itu, upaya Kota Jinchang untuk melakukan transformasi total adalah sebuah langkah yang layak memperoleh dua jempol. Suatu sikap yang mungkin harus mulai ditiru oleh para pemerintah daerah di Indonesia yang masih menggantungkan diri pada hasil tambang.
Keputusan untuk menjual konsep kebudayaan baru bukan sekedar tempat wisata juga sebuah contoh yang layak dipertimbangkan oleh Indonesia, di mana masih banyak daerah yang belum menggarap sektor pariwisata sebagai satu kesatuan konsep dan hanya bergantung pada keindahan alam.
Dan sebagaimana pernyataan Wu Mingming bahwa mulanya Jinchang memang baru menarget wisatawan lokal maka bisa jadi konsep itu disusun semata agar warga lokal tak perlu jauh-jauh membelanjakan uang di luar negeri untuk sebuah nuansa yang bisa mereka dapatkan di dalam negeri. Dan jika kita bicara warga China maka itu adalah pasar yang besar. Tapi dengan munculnya gagasan Presiden Xi Jinping untuk mewujudkan kembali rute perdagangan Jalur Sutra, lokasi Jinchang menjadi jauh lebih strategis.
Pasar internasional menanti di depan mata.
Gusti NC Aryani
Tags:
Sosial