Jakarta, 14/12 (Seotama) - Ada perkembangan terbaru mengenai Bitcoin, salah satu mata uang digital atau "crypto-currency" yang dikenal masyarakat dunia.
Mulai Minggu (10/12) malam waktu setempat, mata uang virtual itu resmi diperdagangkan di bursa berjangka Cboe Futures Exchange di Chicago, AS.
Dilaporkan bahwa perdagangan berjangka itu dibuka dengan valuasi Bitcoin di level 15.000 dolar AS. Di pasar berjangka yang kontraknya berakhir pada 14 Februari 2018 dan 14 Maret 2018, harganya menyentuh level 19.140 dolar AS dan 19.100 dolar Amerika Serikat.
Kenaikan nilai itu luar biasa mengingat mata uang digital yang dikeluarkan pada 2009 tersebut belum ada peminatnya. Pada 2010 tercatat mulai ada transaksi dengan nilai awal hanya 39 sen dolar AS. Pada tahun lalu nilainya pun masih sekitar 1.000 dolar AS per unit.
Masuknya Bitcoin di pasar berjangka itu dinilai sebagai jalan menuju legitimasi mata uang virtual tersebut. Maklum, hingga saat ini masih ada perbedaan penerimaan terhadap Bitcoin sebagai aset yang dapat diperjualbelikan. Bitcoin sebagai mata uang maupun komoditas tidak memiliki bentuk fisik, bahkan tidak ada negara penghasil, badan regulasi dan sektor perbankan formal yang mengaturnya.
Bitcoin disebutkan diciptakan oleh ahli komputer dan enkripsi bernama Satoshi Nakamoto melalui algoritma komputer. Ini berbeda dengan uang biasa yang merupakan utang atau "liability" dari yang mengeluarkan, dalam hal ini bank sentral.
Indonesia termasuk negara menilai bahwa Bitcoin dan mata uang virtual lainnya bukan merupakan mata uang atau alat pembayaran yang sah di Indonesia.
Menurut Bank Indonesia (BI), ini sesuai dengan Undang-undang No.7 Tahun 2011 tentang Mata Uang serta UU No.23 Tahun 1999 yang kemudian diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang No.6 Tahun 2009.
Bitcoin bukan satu-satunya mata uang virtual yang dikenal masyarakat dunia. Ada juga mata uang lainnya seperti Ethereum, Ripple, Litecoin dan Dash. Berisiko Gubernur BI Agus Martowardojo mengingatkan masyarakat agar tidak menganggap enteng risiko yang mungkin dimunculkan dari investasi menggunakan Bitcoin.
Ia minta masyarakat untuk mempelajari lebih dalam apa itu Bitcoin sehingga keputusan apa pun yang akan diambil bukan menjadi sesuatu yang disesali. Agus mengatakan bahwa Bitcoin tidak dijamin dan merupakan investasi yang tidak diakui di Indonesia saat ini. Selain itu, Bitcoin juga bukan merupakan alat pembayaran yang sah.
Bank Indonesia selaku regulator juga telah mengimbau masyarakat agar tidak berinvestasi dengan mata uang digital, namun memilih produk investasi lain yang lebih sehat dan dijamin.
Sementara Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengharapkan masyarakat tidak berspekulasi untuk berinvestasi dengan mata uang virtual seperti Bitcoin, yang kini mulai dilirik sebagai suatu produk investasi.
Bagi Indonesia, yang nampaknya sering dimunculkan karena harga Bitcoin makin tinggi. Ini dilirik sebagai suatu bentuk investasi. Namun, menkeu mengatakan, ia berharap tidak terjadi spekulasi atau "bubble" yang kemudian bisa merugikan.
Sri Mulyani mengharapkan masyarakat dapat lebih bijak memilih investasi yang aman dan sesuai dengan aturan yang berlaku, sehingga nantinya tidak merugikan masyarakat itu sendiri.
Satgas Waspada Investasi juga mengingatkan masyarakat agar tidak bertransaksi menggunakan mata uang digital karena selain melanggar ketentuan otoritas sistem pembayaran, mata uang virtual itu kerap mengiming-imingi imbal hasil yang tidak masuk akal.
Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam Lumban Tobing mengatakan saat ini terdapat dua pelaku transaksi Bitcoin.
Pertama, pelaku atau industri yang berdiri sebagai "marketplace", yakni tempat bertemu antara pembeli dan penjual mata uang virtual tersebut. Kedua, pelaku atau industri yang menawarkan investasi di penjualan Bitcoin.
Menurut Tongam, mata uang virtual untuk investasi berpotensi merugikan masyarakat karena perusahaan tersebut mengiming-imingi bunga yang tidak masuk akal. Jika masyarakat ingin berinvestasi, kata dia, lebih baik ke sektor produktif atau ke produk keuangan yang legal.
"Ribet" Guru Besar Ekonomi Emeritus Universitas Indonesia J. Soedradjad Djiwandono dalam artikel panjangnya di sebuah surat kabar nasional mengatakan Bitcoin sebagai mata uang dan obyek perdagangan uang tampaknya tidak bisa dibendung.
Namun untuk resmi menjadi alat tukar tampaknya masih sulit karena masih "ribet"-nya melakukan pengelolaan Bitcoin. Menurut Soedradjad yang juga mantan Gubernur BI, hanya mereka yang ahli komputer dan enkripsi yang dapat memanfaatkannya, menerima atau mentransfer, menjual dan membeli, menggali (mining) atau membayar dengan Bitcoin.
"Kalau anda membaca iklan ada yang menjual jasa bagi yang berminat untuk berinvestasi dalam Bitcoin, artinya ya masih harus melalui mereka sebagai pihak yang melakukan perdagangan untuk kita, tentu dengan 'fee' (bayaran) karena rumitnya proses yang harus dilakukan," kata Profesor Ekonomi Internasional, RSIS, Nanyang Technological University, Singapura itu.
Jadi, ada batasan secara alamiah untuk menggunakan Bitcoin sebagai uang karena tidak semudah menggunakan internet untuk mengirim dan menerima surat elektronik atau "e-mail". (S/An)
Mulai Minggu (10/12) malam waktu setempat, mata uang virtual itu resmi diperdagangkan di bursa berjangka Cboe Futures Exchange di Chicago, AS.
Dilaporkan bahwa perdagangan berjangka itu dibuka dengan valuasi Bitcoin di level 15.000 dolar AS. Di pasar berjangka yang kontraknya berakhir pada 14 Februari 2018 dan 14 Maret 2018, harganya menyentuh level 19.140 dolar AS dan 19.100 dolar Amerika Serikat.
Kenaikan nilai itu luar biasa mengingat mata uang digital yang dikeluarkan pada 2009 tersebut belum ada peminatnya. Pada 2010 tercatat mulai ada transaksi dengan nilai awal hanya 39 sen dolar AS. Pada tahun lalu nilainya pun masih sekitar 1.000 dolar AS per unit.
Masuknya Bitcoin di pasar berjangka itu dinilai sebagai jalan menuju legitimasi mata uang virtual tersebut. Maklum, hingga saat ini masih ada perbedaan penerimaan terhadap Bitcoin sebagai aset yang dapat diperjualbelikan. Bitcoin sebagai mata uang maupun komoditas tidak memiliki bentuk fisik, bahkan tidak ada negara penghasil, badan regulasi dan sektor perbankan formal yang mengaturnya.
Bitcoin disebutkan diciptakan oleh ahli komputer dan enkripsi bernama Satoshi Nakamoto melalui algoritma komputer. Ini berbeda dengan uang biasa yang merupakan utang atau "liability" dari yang mengeluarkan, dalam hal ini bank sentral.
Indonesia termasuk negara menilai bahwa Bitcoin dan mata uang virtual lainnya bukan merupakan mata uang atau alat pembayaran yang sah di Indonesia.
Menurut Bank Indonesia (BI), ini sesuai dengan Undang-undang No.7 Tahun 2011 tentang Mata Uang serta UU No.23 Tahun 1999 yang kemudian diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang No.6 Tahun 2009.
Masyarakat diimbau untuk berhati-hati terhadap uang Bitcoin dan mata uang virtual lainnya. Segala risiko terkait kepemilikan atau penggunaannya ditanggung sendiri oleh pemilik atau penggunanya. Cryptocurrency seperti Bitcoin bukanlah media pertukaran yang sah
Bitcoin bukan satu-satunya mata uang virtual yang dikenal masyarakat dunia. Ada juga mata uang lainnya seperti Ethereum, Ripple, Litecoin dan Dash. Berisiko Gubernur BI Agus Martowardojo mengingatkan masyarakat agar tidak menganggap enteng risiko yang mungkin dimunculkan dari investasi menggunakan Bitcoin.
Ia minta masyarakat untuk mempelajari lebih dalam apa itu Bitcoin sehingga keputusan apa pun yang akan diambil bukan menjadi sesuatu yang disesali. Agus mengatakan bahwa Bitcoin tidak dijamin dan merupakan investasi yang tidak diakui di Indonesia saat ini. Selain itu, Bitcoin juga bukan merupakan alat pembayaran yang sah.
Bank Indonesia selaku regulator juga telah mengimbau masyarakat agar tidak berinvestasi dengan mata uang digital, namun memilih produk investasi lain yang lebih sehat dan dijamin.
Sementara Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengharapkan masyarakat tidak berspekulasi untuk berinvestasi dengan mata uang virtual seperti Bitcoin, yang kini mulai dilirik sebagai suatu produk investasi.
Bagi Indonesia, yang nampaknya sering dimunculkan karena harga Bitcoin makin tinggi. Ini dilirik sebagai suatu bentuk investasi. Namun, menkeu mengatakan, ia berharap tidak terjadi spekulasi atau "bubble" yang kemudian bisa merugikan.
Sri Mulyani mengharapkan masyarakat dapat lebih bijak memilih investasi yang aman dan sesuai dengan aturan yang berlaku, sehingga nantinya tidak merugikan masyarakat itu sendiri.
Satgas Waspada Investasi juga mengingatkan masyarakat agar tidak bertransaksi menggunakan mata uang digital karena selain melanggar ketentuan otoritas sistem pembayaran, mata uang virtual itu kerap mengiming-imingi imbal hasil yang tidak masuk akal.
Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam Lumban Tobing mengatakan saat ini terdapat dua pelaku transaksi Bitcoin.
Pertama, pelaku atau industri yang berdiri sebagai "marketplace", yakni tempat bertemu antara pembeli dan penjual mata uang virtual tersebut. Kedua, pelaku atau industri yang menawarkan investasi di penjualan Bitcoin.
Menurut Tongam, mata uang virtual untuk investasi berpotensi merugikan masyarakat karena perusahaan tersebut mengiming-imingi bunga yang tidak masuk akal. Jika masyarakat ingin berinvestasi, kata dia, lebih baik ke sektor produktif atau ke produk keuangan yang legal.
"Ribet" Guru Besar Ekonomi Emeritus Universitas Indonesia J. Soedradjad Djiwandono dalam artikel panjangnya di sebuah surat kabar nasional mengatakan Bitcoin sebagai mata uang dan obyek perdagangan uang tampaknya tidak bisa dibendung.
Namun untuk resmi menjadi alat tukar tampaknya masih sulit karena masih "ribet"-nya melakukan pengelolaan Bitcoin. Menurut Soedradjad yang juga mantan Gubernur BI, hanya mereka yang ahli komputer dan enkripsi yang dapat memanfaatkannya, menerima atau mentransfer, menjual dan membeli, menggali (mining) atau membayar dengan Bitcoin.
"Kalau anda membaca iklan ada yang menjual jasa bagi yang berminat untuk berinvestasi dalam Bitcoin, artinya ya masih harus melalui mereka sebagai pihak yang melakukan perdagangan untuk kita, tentu dengan 'fee' (bayaran) karena rumitnya proses yang harus dilakukan," kata Profesor Ekonomi Internasional, RSIS, Nanyang Technological University, Singapura itu.
Jadi, ada batasan secara alamiah untuk menggunakan Bitcoin sebagai uang karena tidak semudah menggunakan internet untuk mengirim dan menerima surat elektronik atau "e-mail". (S/An)
Tags:
Berita